Getaran besar terjadi di sebuah apartemen, kaca-kaca retak dan para penghuni berhamburan keluar dari bangunan tersebut. Tak terkecuali Amed (Shahab Hosseini) dan Rana (Taraneh Alidoosti) sepasang suami istri yang berprofesi sebagai aktor panggung. Ditengah hiruk pikuk warga yang berhamburan, Amed masih sempat menyelamatkan salah satu penghuni apartemen yang sakit, menggendongnya keluar. Penyebab gempa adalah ulah traktor tepat di samping apartemen tersebut. Mengikuti rekomendasi dari salah satu teman panggungnya, Babak (Babak Karimi), Amed dan Rana pun pindah ke apartemen baru. Di apartemen tersebut barang-barang dari penghuni lama belum sempat dipindahkan. Dari penuturan penghuni lain akhirnya Amed dan Rana pun tahu kalau apartemen tersebut sebelumnya dihuni oleh seorang PSK. Suatu hari sepulang dari pementasan teater berjudul The Death of Salesman karya penulis Amerika Arthur Miller, Rana mengalami kejadian buruk di kamar mandi apartemen barunya. Tidak ditunjukan apa sebenarnya yang terjadi tapi dari jahitan di kepala Rana kita bisa melihat betapa buruknya kejadian tersebut. Rana mengalami trauma dan Amed pun berusaha mencari pelakunya yang dari kesaksian warga sekitar diketahui adalah pelanggan dari penghuni terdahulu dari apartemen yang sekarang ditempati mereka.
The Salesman adalah film pemenang Piala Oscar 2017 untuk kategori Best Foreign Language Film (film berbahasa asing terbaik). Sebelumnya sang sutradara, Asghar Farhadi, pernah mendapatkan penghargaan yang sama di tahun 2012 lalu melalui A Separation. Pencapaian ini adalah pembuktian dari Farhadi sebagai pembuat film-film drama berkualitas dan semakin mengokohkan eksistensi dan kemapanan sinema Iran di kancah internasional.
Sebuah percakapan kecil terjadi di ruang kelas tempat Amed mengajar. Murid: Sir, how does a person turn into a cow? Amed: Gradually. Seperti itulah kira-kira film ini bercerita, bagaimana seseorang yang mengalami sebuah kejadian buruk dalam hidupnya yang kemudian secara bertahap membawanya menemui sisi gelap pada dirinya. Salah satu ciri khas dari Asghar Farhadi di film-film sebelumnya adalah bagaimana ketegangan demi ketegangan sepanjang filmnya begitu kuat membius penonton untuk ikut larut dalam suatu misteri. Kebenaran dikaburkan dan kita digiring untuk menduga-duga apa yang sebenarnya terjadi. Mencari tahu siapa yang salah dan siapa yang benar melalui pendalaman karakter yang mampu digali dengan sangat baik di sepanjang film. Sedikit berbeda di film ini intensitas ketegangan tidak terlalu digali secara mendalam meskipun seperti tipikal film-film Farhadi sebelumnya (A separation, About Elly, Fireworks Wednesday) dimana kejadian yang menjadi inti konfliknya tetap disembunyikan. Kita lebih dibawa untuk mendalami sisi traumatik dari karakter utamanya, serta gambaran dinamika sosial yang ada di sekitarnya. Hal ini juga diperkuat dengan beberapa adegan dari latihan maupun pementasan The Death of Salesman di tempat Amed dan Rana bermain. Dengan sangat sabar unsur dramatik dibangun, bahkan cenderung terasa sedikit membosankan. Tetapi memasuki 30 menit akhir filmnya barulah kesabaran kita terbayar. Di akhir film inilah emosi berhasil dipermainkan dengan sangat baik. Sisi kemanusiaan kita diusik, dan benar salah menjadi kabur. Inilah yang kemudian menjadi kekuatan utama plot filmnya.
Akting natural dari seluruh pemainya juga menjadi kunci keberhasilan filmnya. Seluruh pemain bermain dengan sangat baik terutama Shahab Hosseini yang sangat baik berperan sebagai suami yang marah. Bukan hanya karena hal buruk yang dialami orang yang dicintainya, tetapi juga sebagai pribadi yang harga dirinya dinodai. Atas pencapaian aktingnya Hosseini berhasil mendapatkan penghargaan sebagai aktor terbaik di ajang Cannes 2016. Dari aspek teknis tata kamera dan editing yang dinamis juga sangat baik dipakai untuk mendukung ketidakstabilan emosi para tokohnya sepanjang film.
The Salesman adalah film dengan plot yang sederhana, namun kalau kita melihat lebih dalam lagi, apa yang terjadi tidaklah sesederhana yang terlihat. Bukan hanya tentang sebab akibat ataupun aksi reaksi dari karakter utamanya. Ini adalah kompleksitas dari situasi sosial yang ada. Konsekuensi dari cacat sosial yang kemudian melahirkan para pesakitan itu sendiri. Yang kemudian mengusik moral kita sebagai manusia. Atau malah justru ini adalah suatu bentuk kewajaran sikap? Karena yang wajar biasanya adalah sikap yang benar bukan?
WATCH TRAILER