“They made me invisible, shrouded and non-being. A shadow, no existence, to my cage. Tell me how to handle my anger and my rage?”
— Zieba Shorish-Shamley, dari Look into my World
Zieba adalah satu di antara para perempuan yang menderita selama bertahun-tahun sejak negerinya dicengkeram oleh Taliban. Tahun 1998 adalah awal mula bencana bagi perempuan di Afghanistan. Mereka tak lagi merdeka, tak punya kebebasan. Cerita Zieba tak berbeda jauh dengan nasib dua perempuan yang disorot dalam film animasi berjudul The Swallows of Kabul (Les hirondelles de Kaboul) .
Adalah Zunaira dan Mussarat, dua perempuan berbeda usia dan nasib yang tinggal di Kabul. Zunaira adalah perempuan muda yang penuh semangat hidup. Ia cantik dan punya suami, Mohsen, yang memujanya. Ia sangat mencintai seni dan sosok yang cerdas. Sayangnya sejak Taliban berkuasa, ia tak bisa lagi mengajar. Ia juga merasa was-was jika karya seninya di rumahnya diketahui pasukan Taliban.
Mussarat tak seberuntung Zunaira. Ia merasa gagal sebagai perempuan. Ia belum bisa memberikan keturunan buat suaminya, Atiq. Kini ia sakit parah dan tak bisa lagi memasak ataupun membersihkan rumah. Wajah suaminya selalu keruh bila tiba di rumah seusai bertugas sebagai penjaga di penjara buat perempuan.
Nasib kedua perempuan tersebut berubah ketika Zunaira bertengkar dengan suaminya. Ia tak sengaja membunuh suaminya.
Angkat Nasib Perempuan dan Mereka yang Kontra Pemerintah
Suram dan terasa menyesakkan. Sepanjang 80 menitan, saya ikut merasai penderitaan yang dialami kedua perempuan tersebut, beserta mereka yang kontra terhadap pemerintah.
Kontras dengan kualitas animasinya yang indah, dengan desain karakter yang khas, dan warna yang nyaman di mata, nuansa yang ditawarkan dalam animasi ini adalah kesuraman dan kematian. Jika disandingkan dengan animasi yang punya desain karakter yang mirip dan sama-sama angkat latar Timur Tengah, yakni The Rabby’s Cat (2011), maka kisah The Rabby’s Cat lebih ceria dan menawarkan harapan. Sementara animasi ini dibiarkan apa adanya, suram dan seperti tak menawarkan harapan bagi para perempuan.
Diangkat dari novel populer berjudul sama karya Yasmina Khadra, sebenarnya ada beberapa bagian dalam anjmasi ini yang mempertunjukkan nasib tidak adil yang diterima oleh perempuan. Saya akan bahas satu-persatu.
Yang pertama adalah Mussarat. Seorang kenalan memberi nasihat kepada Atiq agar ia menceraikannya. Ia tak cantik, sakit parah, dan tak bisa memberikan keturunan. Mussarat sadar diri. Ia tahu suaminya terbebani olehnya.
Dari gerak-gerik yang ditunjukkan, penonton akan tahu kegelisahan dan rasa bersalah Mussarat kepada suaminya. Di sini seperti negara yang menganut sistem patriaki konvensional, istri harus bisa segalanya. Ketika ia tak mampu melakukan salah satu fungsi, memberikan keturunan, misalnya, iasudah dianggap sebagai istri dan perempuan yang tak sempurna.
Berikutnya, meski Zunaira cantik dan pintar, ia tak bisa menunjukkan dirinya dan potensinya. Ia harus ke mana-mana menggunakan burqah yang menyesakkannya. Ia juga dilarang mengajar. Wanita Afghanistan, seperti yang disebutkan di tulisan Zieba, tidak boleh terlihat dan tidak eksis.
Hanya gara-gara mengenakan sepatu yang berwarna putih ketika ia keluar bersama suaminya, ia harus dihukum di bawah terik matahari selama dua jam tanpa alas kaki. Sementara suaminya setelah dicambuk sekali dan dipukul, hanya harus mengikuti kajian di sebuah masjid. Sebuah diskriminasi antara perempuan dan pria.
Masih banyak hal memilukan yang disajikan di animasi ini. Penghukuman terhadap perempuan tanpa proses peradilan yang adil, misalnya. Perempuan dilempari batu hingga meninggal disaksikan banyak orang di stadiun. Bak sebuah pesta. Sebuah ironi karena derita seorang perempuan, dirayakan.
Dialog-dialog dalam animasi ini terasa filosofis. Penonton diajak untuk merenungi, apa yang sebenarnya membuat kita merasa hidup? Apa yang membuat perempuan bak mayat hidup?
Gaya animasi ini seperti perpaduan Eropa dan Timur Tengah. Garisnya yang tipis, modelnya yang seperti lukisan cat air mengingatkan saya pada gambar-gambar komik Le Petite Nicolas hanya desain karakternya untuk wajah dan perawakan khas Timur Tengah. Genre dan nuansa skoringnya beragam menunjukkan dinamika cerita, dari musik rock hingga alunan instrumental ia yang menyayat.
Meski disutradarai oleh dua sineas perempuan, Zabou Breitman dan Eléa Gobé Mévelle, film ini sebenarnya tak hanya bercerita tentang perempuan. Mereka tak mengusung isu feminisme yang kental, hanya kondisi apa adanya. Tokoh utama dalam film ini sebenarnya adalah Atiq, yang terus berperang batin melihat kondisi negaranya yang runyam sejak Taliban berkuasa. Sebenarnya ia sama seperti istrinya, Sama-sama seperti zombie sejak kondisi negaranya berubah
Dirilis tahun 2019, film The Swallows of Kabul lolos tayang di Festival Cannes 2019 di pemutaran Un Certain Regard. Film animasi yang diproduksi empat negara, Prancis, Swiss, Luxemburg, dan Monaco ini juga banyak meraih penghargaan di berbagai festival mancanegara, salah satunya festival film animasi bergengsi, Annecy Film Festival.
Para pengisi suara animasi ini di antaranya Hiam Abbass, Zita Hanrot, Swann Arlaud, dan Simon Abkarian. Kalian bisa menyaksikan animasi ini di KlikFilm. Oleh karena temanya yang berat dan serius, animasi ini ditujukan bagi penonton dewasa.