The Things We Say, The Things We Do
The Things We Say The Things We Do

Relasi asmara antarmanusia kerap kali tidak terduga. Kita akan menikah dengan siapa, apakah pernikahan kita akan baik-baik saja, atau apakah kehadiran orang ketiga tidak akan memengaruhi pendirian kita. Emmanuel Mouret lantas bermain-main dengan semua hal itu lewat film drama roman komedi arahannya, The Things We Say, The Things We Do, dengan naskah buatannya sendiri. Film produksi Canal+, Ciné+, Elle Driver, Moby Dick Films, dan Pyramide ini dibintangi oleh Camélia Jordana, Niels Schneider, Vincent Macaigne, Émilie Dequenne, Jenna Thiam, Guillaume Gouix, dan Julia Piaton. Apa yang kira-kira dilakukan Mouret dalam mengeksekusi idenya tersebut?

“Often, people find themselves attractive, but they are not.”

Maxime (Schneider) dan Daphné (Jordana) adalah dua orang dengan latar belakang perjalanan cinta yang serupa, tetapi tak sama. Mereka dipertemukan oleh situasi Maxime yang membutuhkan tempat dengan suasana baru demi perkembangan bukunya. Ia tinggal beberapa hari di rumah sepupunya, François (Macaigne), sekaligus suami Daphné. Namun ketiadaan François di rumah karena urusan pekerjaan menyebabkan Maxime dan Daphné terlibat aktivitas sehari-hari hanya berdua. Saling berbagi cerita cinta masing-masing yang ternyata memiliki berbagai kesamaan dan melibatkan banyak orang. Termasuk mantan-mantan dan kisah kegagalan mereka.

The Things We Say, The Things We Do tidak disangka ternyata memiliki naskah brilian. Mouret yang mengerjakan sendiri skenario film ini sekaligus mengarahkannya secara cerdas mengaitkan masalah setiap tokohnya. Ia juga memutarbalikkan perasaan mereka tentang sesiapa saja yang pada akhirnya tokoh-tokoh tersebut cintai. Satu hal utama yang menjadi nilai lebih dari film ini melalui aspek naratif adalah kejutan-kejutannya dalam menunjukkan keterkaitan antartokoh. Bahwa “ternyata”, Louise (Dequenne), sang mantan istri François tahu lebih banyak daripada segala dugaan suaminya itu, dan membuat sebuah rencana demi memisahkan diri dengan François. Belum lagi wanita yang menjadi tempat berlabuh terakhir tokoh utama kita, Maxime, di penghujung cerita. Ini masih dua contoh dari banyaknya kejutan dalam naskah garapan Mouret.

Melalui skenario yang sedemikian ciamik tersebut, memang adakalanya sempat terpikir bahwa segala sesuatunya muncul secara kebetulan dan ajaib. Namun di sisi lain, ada sedikit rasa enggan untuk mempertanyakan itu dan cenderung memaklumi semuanya, karena terbius pula oleh karakteristik dari setiap tokoh. Terutama nasib kedua tokoh utamanya, Maxime dan Daphné. Maxime dengan ketidakberdayaannya yang selalu jadi nomor dua, Daphné dengan pemikirannya tentang cinta yang suci, Louise yang ternyata memiliki independensi, François yang tak punya ketegasan, serta Sandra (Thiam) dan Gaspard (Gouix) dengan ambiguitas dalam hubungan asmara mereka.

Baca Juga  Hidden Strike

Kisah pun terbelah dalam dua dimensi cerita, yakni latar belakang Maxime dan Daphné. Bagaimana perjalanan cinta masing-masing sampai akhirnya mereka bertemu dan menjalani keseharian berdua sambil saling bercerita, karena François, suami Daphné, rupanya ialah sepupu Maxime. Perjalanan keduanya dihadirkan secara silih-berganti dengan beberapa kali pemotongan atau jeda. Meski dengan keseluruhan cerita pengalaman asmara dari mereka, tidak ada satupun yang kemudian mengarah pada perkembangan tulisan Maxime.

Ya. Alasan pertama kedatangan Maxime ke rumah sepupunya hingga bisa bertemu Daphné adalah untuk membantunya kembali menulis. Namun setelah semua aktivitas berbagi cerita cinta dari mereka berdua, Mouret tak menunjukkan apakah kebutuhan Maxime untuk menulis bukunya sendiri terbantu atau tidak. Dengan kata lain, motivasi awal yang mempertemukan kedua tokoh utama hingga keputusan mereka untuk mau saling berbagi cerita di sepanjang film, pada akhirnya terabaikan.

Terlepas dari semua persoalan naratif tersebut, The Things We Say, The Things We Do menghadirkan visual yang cerah, serba indah, dan memanjakan mata. Seperti pasangan yang tengah dimabuk asmara, selalu mendapat keberuntungan cinta dengan perjalanan yang mujur-mujur saja. Setidaknya Daphné mengalami itu jauh lebih sering, ketimbang apa yang didapatkan Maxime. Ada pula repetisi satu adegan sekitar tiga atau empat kali dalam film ini. Adegan metafora sebagai tanda bahwa peristiwa selanjutnya bukanlah sesuatu yang bagus bagi tokoh-tokoh di dalamnya. Maxime dan Sandra, Louise dan François, Maxime dan Daphné, serta yang lainnya.

The Things We Say, The Things We Do adalah sajian cerita cinta dan komedi yang mengaitkan sebab-akibat masalah asmaranya lewat perangai tidak tegas dari para tokohnya. Salah satu sajian dengan penggarapan skenario cukup baik dari Mouret. Meski film ini sendiri juga tidak menindaklanjuti kemunculan dari salah satu tokoh yang lain, yakni putri Louise dan François. Bagaimana nasib dia kemudian di akhir cerita, setelah yang terjadi antara kedua orang tuanya. Namun satu fakta lain yang tak boleh diabaikan dari film ini, yakni ansamble aktor dan aktris pemeran setiap tokoh pentingnya yang sudah punya rekam jejak panjang.

PENILAIAN KAMI
Overall
75 %
Artikel SebelumnyaBetween Two Worlds (Festival Sinema Prancis)
Artikel BerikutnyaThe Lord of the Rings: The Rings of Power
Miftachul Arifin lahir di Kediri pada 9 November 1996. Pernah aktif mengikuti organisasi tingkat institut, yaitu Lembaga Pers Mahasiswa Pressisi (2015-2021) di Institut Seni Indonesia Yogyakarta, juga turut andil menjadi salah satu penulis dan editor dalam media cetak Majalah Art Effect, Buletin Kontemporer, dan Zine K-Louder, serta media daring lpmpressisi.com. Pernah pula menjadi kontributor terpilih kategori cerpen lomba Sayembara Goresan Pena oleh Jendela Sastra Indonesia (2017), Juara Harapan 1 lomba Kepenulisan Cerita Pendek oleh Ikatan Penulis Mahasiswa Al Khoziny (2018), Penulis Terpilih lomba Cipta Puisi 2018 Tingkat Nasional oleh Sualla Media (2018), dan menjadi Juara Utama lomba Short Story And Photography Contest oleh Kamadhis UGM (2018). Memiliki buku novel bergenre fantasi dengan judul Mansheviora: Semesta Alterna􀆟f yang diterbitkan secara selfpublishing. Selain itu, juga menjadi salah seorang penulis top tier dalam situs web populer bertema umum serta teknologi, yakni selasar.com dan lockhartlondon.com, yang telah berjalan selama lebih-kurang satu tahun (2020-2021). Latar belakangnya dari bidang film dan minatnya dalam bidang kepenulisan, menjadi motivasi dan alasannya untuk bergabung dengan Komunitas Film Montase sejak tahun 2019. Semenjak menjadi bagian Komunitas Film Montase, telah aktif menulis hingga puluhan ulasan Film Indonesia dalam situs web montasefilm.com. Prestasi besar terakhirnya adalah menjadi nominator Festival Film Indonesia 2021 untuk kategori Kritikus Film Terbaik melalui artikel "Asih, Cermin Horor Indonesia Kontemporer" bersama rekan penulisnya, Agustinus Dwi Nugroho.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.