Mark Wahlberg boleh jadi adalah salah satu aktor populer yang paling sering muncul dengan beragam genre. Peran sebagai seorang agen adalah bukan yang pertama baginya dan kini ia muncul dalam film thriller spionase bertitel The Union yang dirilis oleh Netflix. The Union digarap oleh Julian Farino dan diproduseri pula oleh Walhberg. Film ini juga dibintangi oleh Halle Berry, Mike Colter, Adewale Akinnuoye-Agbaje, Alice Lee, Jackie Earle Haley, dan J. K. Simmons. Akankah Wahlberg bisa lepas dalam peran-peran tipikalnya?

Mike McKenna (Wahleberg) adalah seorang pekerja konstruksi biasa yang tinggal di New Jersey. Suatu ketika, mantan idaman hati masa mudanya, Roxxane (Berry), datang tiba-tiba dan mengajaknya untuk masuk ke sebuah agensi rahasia bernama The Union. Rupanya, mereka butuh seorang rekrutan baru untuk mengambil sebuah chip yang berisi data-data nama agen di seluruh dunia. Mike menerima tawaran tersebut tanpa tahu persis resiko yang bakal ia hadapi.

Ratusan film agen, sebut saja seri Mission: Impossible, Bourne, hingga Bond, dengan segala varian plot dan genrenya, membuat sulit bagi genre ini untuk menyuntikkan sesuatu yang baru. Tidak terkecuali The Union. Satu-satunya premis segar dalam plotnya adalah cara mereka merekrut agen barunya yang tentunya mustahil jika agensi semacam ini memang eksis. Seperti lazimnya, untuk membuatnya unik, agensi harus dibuat berbeda dengan tidak terafiliasi dengan agensi  resmi pemerintah, sebut saja CIA, MI6, KGB dengan bermodal kasus maha pentingnya. Misinya selalu sama, ya betul, tidak lain tidak bukan adalah to save the world. Lalu, apa spesialnya agensi The Union? Nothing.

Untungnya, kisahnya bukan komedi atau keluarga (genre favorit Wahlberg), menjadikan ancaman dan tantangannya kini lebih nyata. Walau sering kali sosok Wahlberg sendiri yang justru menurunkan tensi ketegangannya. Contoh saja, Ketika sosoknya jatuh ke jurang, siapa yang mengira ia bakal tewas? Tentu hanya orang yang tidak pernah menonton film aksi. Aksi-aksi kejar mengajarnya memang tidak buruk, namun hal di atas yang membuat intensitas ketegangan terasa hambar, seberapa pun bahaya situasinya. Berbeda pada kasus seri Mission Impossible, intensitas plot dan mood aksinya yang membuat penonton melupakan prosesnya dan fokus pada plot. Sayangnya ini tidak terjadi pada The Union.

The Union memiliki premis segar di awal, sebelum eksekusi rutin genrenya pada sisa durasinya. Satu yang menjadi catatan adalah chemistry antara Mike (Wahlberg) dengan Roxxane (Berry). Memori masa silam mereka, sedikit memberi sentuhan “roman” yang berbeda pada plotnya. Selain ini, tidak banyak hal lain yang membekas dalam plotnya. Sejauh ini, seri M:I serta Bond rasanya masih sulit ditandingi pamornya, baik secara kualitas maupun komersial, film-film lain hanya terasa sebagai selingan genrenya.

Baca Juga  The Revenant

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
50 %
Artikel SebelumnyaAutobiography: Lokalitas Didera Bahasa
Artikel BerikutnyaBlink Twice
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.