The Wages of Fear adalah remake dari film klasik Perancis bertitel sama (1953) arahan Julien Leclercq. Film aslinya diadaptasi dari novel berjudul Le Salaire de la peur (1950) karya Georges Arnaud dan film ini sudah di-remake dua kali, yakni pada tahun 1958 dan 1977. Film aksi thriller yang juga diproduksi studio Perancis ini dibintangi oleh Franck Gastambide, Ana Girardot, Sofiane Zermani, Alban Lenoir, Birol Tarkan Yildiz. Mampukah remake-nya kali ini memenuhi ekspektasi dari film klasiknya yang superior?

Satu kota kecil di wilayah pedalaman timur tengah mengalami masalah pelik ketika kilang minyak mereka bocor sehingga untuk menutup apinya harus diledakkan menggunakan nitroglycerine. Satu hal yang menjadi masalah adalah bahan peledak tersebut harus dibawa melalui perjalanan darat sejauh 800 mil bermedan berat di tengah wilayah konflik. Fred (Gastambide) adalah pekerja serabutan di perusahaan minyak yang terpaksa mau melakukan ini dengan imbalan kakaknya, Alex (lenoir) dibebaskan dari penjara lokal. Satu rombongan konvoi ini akhirnya berangkat dengan Fred dan Alex masing-masing membawa truk yang berisi bom cair tersebut.

Bisa jadi banyak yang belum menonton film klasik The Wages of Fear (1953) yang berdurasi 153 menit. Apa  sesungguhnya yang membuat film arahan Henri-Georges Clouzot ini begitu istimewa hingga di-remake tiga kali hingga kini? Jawabnya adalah karena film ini mampu memadukan sisi drama, thriller, dan tragedi dengan brilian. Tidak hanya sisi ketegangan, namun film ini juga mampu menyajikan kritik sosial tentang kapitalisme yang diwakili satu perusahaan minyak milik AS yang mengeksplotasi satu wilayah miskin di Amerika Selatan dan orang akan melakukan apa pun demi uang. Ini adalah poin yang ditekankan filmnya.

Baca Juga  The Greatest Showman

Lalu remake-nya? Sementara film aslinya berkutat masalah isu sosial, remake-nya hanya mengangkat masalah keluarga. Sementara tema ini menjadi pembentuk motif kisahnya, plot filmnya dipersingkat menjadi 104 menit dengan hanya terfokus pada aksi di jalanan. Versi remake-nya hanyalah tipikal aksi thriller masa kini yang sudah jamak diproduksi. Dengan memanfaatkan konflik di wilayah TimTeng sebagai latar cerita, seperti Kandahar yang rilis tahun lalu.  Film ini juga banyak kemiripan dengan The Ice Road yang dibintangi Liam Neeson, hanya saja film yang disebut sedikit lebih menghibur. Beberapa momen aksinya juga terinspirasi dari film aslinya walau berbeda motif. Jika saja, film ini dibintangi oleh Gerard Butler atau Neeson, mungkin film ini bisa sedikit lebih baik.

Sebuah remake yang dangkal, The Wages of Fear melakukan perubahan besar dari kisah tragedi menjadi aksi-thriller semata. Versi remake-nya memberangus semua hal yang menjadikan The Wages of Fear versi klasik begitu istimewa dengan hanya mencomot sisi aksi dan ketegangannya semata. Me-remake film klasik macam ini jelas bukan perkara mudah dan upaya sang sineas untuk “memilenialkan” kisahnya (jika itu yang dinginkan) juga upaya yang patut dihargai. Ketimbang memaksakan cerita dengan konsekuensi logisnya, plot yang ditawarkan The Ice Road jauh lebih make sense. Apa sih beda resiko membawa bahan peledak sensitif di dalam truk dengan perlakuan seperti itu, dengan dibawa menggunakan helikopter yang jauh lebih cepat? Satu dialog selintas rasanya tak cukup menjawab ini.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
50 %
Artikel SebelumnyaKeluar Main 1994
Artikel BerikutnyaThe First Omen
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.