The Wild Robot adalah film animasi sci-fi yang digarap oleh Chris Sanders. Sanders adalah sineas dibalik sukses film-film animasi berkualitas produksi Dreamworks Animation, seperti How to Train Your Dragon dan The Croods. Naskahnya diadaptasi dari buku cerita berseri karya Peter Brown. Film ini diisi suara oleh beberapa bintang ternama, sebut saja Lupita Nyong’O, Pedro Pascal, Kit Connor, Bill Nighy, Stephanie Hsu, Mark Hamill, Catherine O’Hara, serta Ving Rhames. Bermodal bujet USD 78 juta, sineas dan bintang berkelasnya, akankah The Wild Robot mampu memberi sentuhan yang segar bagi film-film animasi berlatar sci-fi?

Di masa depan, sebuah robot berinisial ROZZUM Unit 7134, atau disingkat Roz (Nyong’O) terdampar di sebuah pulau terpencil yang penuh dengan satwa liar. Sang robot berusaha mencari “majikan” serta misi yang harus ia lakukan agar segera dapat bekerja sesuai prosedur teknisnya. Lambat laun, sang robot pun menyadari bahwa alam liar adalah bukan habitatnya. Namun, sebelum memutuskan melakukan protokol untuk kembali ke pabriknya, tanpa sengaja Roz menemukan sebuah telur angsa, dan ia pun menemukan misi yang ia cari, yakni merawat sang angsa.

Sejak awal plotnya, aspek lingkungan memang sudah terasa nuansanya demikian kuat. Tanpa sedikit pun eksposisi cerita di awal, berjalannya waktu, kita pun memahami jika ini semua adalah masa depan, pasca bumi dilanda bencana “global warming” yang maha hebat. Uniknya, kisahnya sama sekali meniadakan karakter manusia, hanya robot dan binatang. Dengan kemampuan teknologi beradaptasinya, sang robot mampu berkomunikasi dengan satwa. Hal ini tentu membuat kisahnya bergulir lebih komunikatif yang didominasi proses “parenting” antara Roz, Bright Bill (sang angsa cilik), dan Fink (sang rubah), layaknya satu keluarga kecil. Lebih dari separuh durasinya, mengisahkan relasi unik dan hangat antara sang robot dengan para satwa, tidak hingga konflik rutin, yakni sang robot pembelot versus perusahaan pembuatnya.

Baca Juga  Thor: Love and Thunder

Kisahnya sedikit mengingatkan pada Wall.E (2008) produksi studio Pixar dengan mengusung tema lingkungan. Walau Wall.E terhitung adalah salah satu film animasi terbaik yang pernah ada, namun sisi kehangatan “humanis” The Wild Robot adalah satu hal yang tidak dimiliki film tersebut. Bicara soal parenting, baru lalu film animasi Netflix, Ultraman Rising, juga menghadirkan kisah serupa dengan karakter “ayah dan bayi” yang jauh lebih unik, personal, serta sisi kehangatan yang kuat. Hanya saja, hubungan antara Roz dengan para satwa secara keseluruhan rasanya sulit dicari tandingan. The Wild Robot terasa lebih kuat kisahnya secara kolektif karena mengusung pesan keluarga sekaligus lingkungan dengan sama baiknya.

Kisah The Wild Robot memiliki sentuhan humanis antara robot dengan satwa, plus pesan lingkungan dan keluarga yang kuat. The Wild Robot adalah satu tontonan komplit untuk keluarga dan segala usia dengan sisi kehangatan yang jarang dimiliki film-film sci-fi sejenisnya. Hanya satu kelemahan kecil pada kisahnya adalah minus sosok manusia. Rasanya sedikit janggal ketika sebuah film bicara pesan untuk manusia dan lingkungan, tanpa ada satu pun tokoh manusia di dalamnya. Walau bukan pencapaian hebat, namun The Wild Robot adalah salah satu film animasi lingkungan terbaik dalam beberapa dekade terakhir dan kandidat kuat peraih Piala Oscar untuk film animasi panjang terbaik tahun depan.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
80 %
Artikel SebelumnyaJoker: Folie à Deux
Artikel BerikutnyaHome Sweet Loan
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). A lifelong cinephile, he developed a profound passion for film from an early age. After completing his studies in architecture, he embarked on an independent journey exploring film theory and history. His enthusiasm for cinema took tangible form in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience eventually led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched students’ understanding through courses such as Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended well beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, Understanding Film, an in-depth examination of the essential elements of cinema, both narrative and visual. The book’s enduring significance is reflected in its second edition, released in 2018, which has since become a cornerstone reference for film and communication scholars across Indonesia. His contributions to the field also encompass collaborative and editorial efforts. He participated in the compilation of Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1–3 and 30 Best-Selling Indonesian Films 2012–2018. Further establishing his authority, he authored Horror Film Book: From Caligari to Hereditary (2023) and Indonesian Horror Film: Rising from the Grave (2023). His passion for cinema remains as vibrant as ever. He continues to offer insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com while actively engaging in film production with the Montase Film Community. His short films have received critical acclaim at numerous festivals, both nationally and internationally. In recognition of his outstanding contribution to film criticism, his writing was shortlisted for years in a row for Best Film Criticism at the 2021-2024 Indonesian Film Festival. His dedication to the discipline endures, as he currently serves as a practitioner-lecturer in Film Criticism and Film Theory at the Indonesian Institute of the Arts Yogyakarta, under the Independent Practitioner Program from 2022-2024.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses