Kombinasi kisah drama periodik, spiritual, trauma psikologis, dan thriller bisa jadi adalah satu paduan yang langka. The Wonder adalah film arahan sineas asal Chili, Sebastian Lelio yang filmnya, The Fantastic Woman (2017) meraih Piala Oscar untuk kategori film bahasa asing terbaik. The Wonder dibintangi oleh Florence Pugh, Tom Burke, Toby Jones, dan Ciaran Hinds. Film ini dirilis Netflix pada tanggal 16 November 2022 kemarin. Dengan paduan tema yang menarik dan sentuhan tangan emas sang sineas, mampukah film ini memberi ekspektasi lebih?
“You’re paid to watch, not to intervene.”
Filmnya berkisah di wilayah pedalaman Irlandia tahun 1862. Elizabeth “Lib” (Pugh) adalah seorang perawat yang dikirim dari London untuk merawat seorang gadis, Ana, yang memiliki kondisi unik, ia menolak makan selama berbulan-bulan. Tugas Lib hanyalah mengawasi Ana yang bergantian dengan seorang biarawati. Oleh keluarganya dan warga setempat, kondisi Ana dianggap sebuah keajaiban dari Tuhan sementara seorang dokter lokal berusaha mencari penyebab secara ilmiah mengapa kondisi Ana tidak memburuk. Lib yang berada di tengah situasi pelik tersebut, mencoba menggunakan kewarasannya untuk membantu sang gadis, sekaligus menghadapi trauma masa lalunya.
Premis menarik ini sudah dibuka dengan teknik pelanggaran tembok keempat yang menggelitik dan jarang kita temui dalam film (di dalam studio indor ke setting filmnya). Ini apa maksudnya? Satu shot yang senada pada ending-nya mengubah segalanya yang tentu tak mungkin saya tulis di sini (spoiler). Sepanjang plotnya, sisi misteri menggugah rasa penasaran akibat kondisi sang gadis, ditambah pula ekspektasi yang lalu lalang di pikiran kita. Plotnya diombang-ambing di antara sisi spritual dan sains yang membuat kita menduga-duga, apa yang sebenarnya terjadi?
Sang sineas begitu terampil, mampu mempermainkan penonton melalui dialog, sisi trauma Lib, hingga tata artistik yang kelam. Jalinan plotnya pun dibangun dengan sabar melalui temponya yang lambat. Sisi spritual dan ilmiah berjalan sama kuat yang sulit diduga arahnya. Apakah penantian ini semua akhirnya terbayar dengan memuaskan? Tidak juga jika ditilik dari plotnya, sejak trauma Lib terkuak, membuat plot selanjutnya mudah terantisipasi. Hanya saja, shot ending-nya melalui sosok yang tidak diduga, mampu memberikan tafsir yang berbeda.
The Wonder membawa premis unik, namun kisahnya tak mampu membawakan sebuah drama spritual yang menggugah, walau ending-nya bisa menampiknya. Deretan kastingnya (khususnya Pugh) yang bermain apik, membuat kita begitu mudah untuk larut dalam kisahnya. Jujur saja, The Wonder terhitung sebagai film yang sulit diulas dan memang bukan untuk tontonan awam. Siapa sebenarnya perempuan yang berbicara dengan penonton (melanggar tembok keempat)? Apakah “Tuhan” atau “malaikat”? Campur tangan-“Nya” dengan jelas mampu mengarahkan Lib untuk bertindak spontan ke arah yang benar sekaligus “menebus” dosa masa lalunya. Lantas apa poin ini semua? Apa film ini bicara tentang keyakinan atau logika dan akal sehat? Keajaiban bisa jadi adalah keduanya.