Penulis: Alif Wijaya Ridwan
Kelas Bunga Matahari – Sewon Screening #8
Apakah kita harus tahu apa yang kita inginkan dalam hidup di usia 20-an? Pertanyaan ini menjadi pondasi dari The Worst Person in the World, film terbaru Joachim Trier yang menjadi instalasi ketiga dari trilogi Oslo sang sineas. Film ini berhasil meraih nominasi Oscar untuk kategori Best International Feature Film dan memenangkan penghargaan Best Actress di Cannes Film Festival 2021. Film ini kembali dibintangi oleh Anders Danielsen Lie, salah satu aktor langganan Trier, namun karakter utama diperankan oleh Renate Reinsve. Walaupun dengan judul yang berarti “Orang Terburuk di Dunia”, apa yang membuat film ini menjadi salah satu dari film terbaik di tahun 2021?
Julie (Renate Reinsve) adalah seorang wanita yang berusaha mencari jati dirinya, mulai dari perihal pendidikan, karir, dan percintaan. Padahal ia sudah hampir menginjak usia kepala tiga. Awalnya, dia menjalani kuliah di jurusan kedokteran, namun beralih ke psikologi, lalu fotografi. Dia juga mengalami peralihan yang begitu cepat dari satu kekasih ke kekasih lainnya, lalu menetap ke seorang seniman kartun bernama Aksel (Anders Danielsen Lie). Namun, seiring dengan berjalannya waktu, Julie bertemu dengan Eivind (Herbert Nordrum) di sebuah pesta dan hal itu mengubah lagi segalanya bagi Julie.
Kita hidup di era modern yang penuh posibilitas dalam waktu cepat. Para milenial yang telah berusia lebih dari dua puluh tahun ataupun tiga puluh tahun pasti sedang atau sudah mengalami quarter-life crisis. Pilihan hidup mulai diragukan, hal baru yang dicoba seringkali gagal, teman mulai berkurang satu per satu. Hal inilah yang menjadi isu utama dalam The Worst Person in the World, dikombinasikan dengan feminisme, seksualitas, kekeluargaan, dan bahkan membahas kematian.
(sumber: https://www.imdb.com/title/tt10370710/mediaviewer/rm988618241/)
Dalam segi naratif, The Worst Person in the World disajikan dengan bab-bab seperti novel alih-alih menggunakan struktur tiga babak yang umum digunakan dalam film. Untuk penonton film awam, tentu akan terasa berbeda atau bahkan tidak bisa dicerna. Apalagi karena durasi setiap bab tidak seimbang. Ada bab yang lebih lama jalannya dibandingkan dengan bab lainnya.
Namun, Trier merupakan seorang penulis andal yang bisa mengalirkan cerita dengan gesit dalam waktu dua jam. Dialog setiap karakter terasa realistis, penuh komedi dan kesedihan yang diutarakan secara gamblang. Ditambah dengan banyaknya voiceover narator yang timpang-tindih dengan dialog karakter, film ini semakin sesuai dengan writing signature sang sineas. Kompleks, namun berhasil menuntut audiens untuk cepat tanggap. Dibandingkan dengan film-film sang sineas sebelumnya, naratif The Worst Person in the World sangat mirip dengan film panjang pertamanya, Reprise, yang juga disajikan dengan naratif cepat dan didampingi oleh seorang narator.
(sumber: https://m.imdb.com/title/tt10370710/mediaviewer/rm2666906881/)
Aspek naratif film ini kemudian dijunjung oleh aspek sinematik yang tidak kalah mengesankan. Dari dinamisnya treatment kamera, hangatnya penataan cahaya, hingga desain set yang modern. Mise-en-scene di film ini sangat menonjol, terutama di beberapa adegan yang memang penuh dengan visualisasi yang terasa magis ataupun memberikan efek trippy terhadap audiens. Lagi, aspek sinematik dari film ini mirip dengan Reprise, namun pewarnaannya lebih mirip dengan film Trier yang lain, yakni Oslo, August 31st. Penggunaan musik dalam film ini juga diolah dengan baik, sesuai dengan jalannya cerita yang mengandung adegan penuh aksi dan adegan yang meditatif.
Empat tahun setelah film panjang terakhirnya, Joachim Trier kembali dengan sebuah karya yang sukses merenggut hati generasi Z dan milenial di era modern dengan cerita yang relatable dan visualisasi yang dinamis. Walaupun penyajian naratifnya yang seperti novel dan banyak voiceover dari narator, The Worst Person in the World terbukti berhasil pula di berbagai festival dan mendapatkan nominasi Academy Award. Tak hanya berpengaruh di tahun tayangnya, film ini pun membuktikan kelayakan Joachim Trier sebagai salah satu juri Cannes Film Festival tahun ini.
Ulasannya canggih udah kayak sineas beneran, tetap belajar dan berkarya anakku, Allah sll bersamamu