The Greatest Showman (2017)

105 min|Biography, Drama, Musical|20 Dec 2017
7.5Rating: 7.5 / 10 from 298,142 usersMetascore: 48
Celebrates the birth of show business and tells of a visionary who rose from nothing to create a spectacle that became a worldwide sensation.

The Greatest Showman adalah film musikal yang mengadaptasi kisah P.T. Barnum seorang pengusaha yang menjadi pelopor pertunjukan sirkus di Amerika. Film ini digarap oleh Michael Gracey, yang uniknya film ini adalah debutnya. Naskahnya ditulis Bill Condon yang juga menggarap naskah film musikal populer, Dreamgirls dan Chicago, serta mengarahkan film musikal blockbuster tahun ini, Beauty and the Beast. Film ini mengkasting beberapa nama besar, seperti Hugh Jackman, Zac Efron, Michelle Williams, Rebecca Ferguson, hingga Zendaya.

Barnum cilik adalah anak seorang penjahit yang hidup miskin. Hidupnya yang sulit menempanya menjadi seorang pekerja keras hingga ia mampu menikahi Charity, gadis kalangan atas yang sejak kecil jadi pujaan hatinya. Mereka hidup bahagia dengan dua putri mereka, namun kehidupan Barnum belum seperti yang ia impikan. Suatu ketika, Barnum mendapat ide untuk menggelar sebuah show yang menampilkan orang-orang yang memiliki fisik unik. Dimulailah petulangan Barnum dalam menggapai sukses dengan suka dan dukanya.

Sejak opening filmnya, segmen musikal pendek sudah disajikan begitu indah membahana memberi kesan mendalam. Sejak momen itu pula, kisahnya dimulai yang didominasi segmen musikal yang juga berpadu dengan teknik (editing) montage. Segmen musikalnya, hampir seluruhnya menggambarkan proses cerita yang menampilkan serangkaian peristiwa yang seringkali berlangsung dalam rentang waktu yang lama. Satu nomor amat manis di awal bertitel, “A Million Dreams”,  menggambarkan bagaimana perjuangan Barnum cilik hingga ia dewasa dan memperistri Charity. Sungguh disajikan sangat mengesankan. Namun, sayangnya aspek ini juga menjadi titik lemah filmnya.

Baca Juga  Herself

Dominasi montage dan segmen musikal menggambarkan kisahnya dengan amat cepat, dan ini tidak hanya terjadi pada satu atau dua segmen saja. Kita tidak diberi kesempatan untuk masuk lebih jauh ke dalam tokoh-tokohnya. Kisahnya berjalan amat cepat sehingga adegan yang bersifat intim dan dramatik tidak terasa membekas, hanya terasa angin lalu. Satu lagi masalah adalah kisahnya yang terlalu sederhana dan klise, bahkan untuk genrenya. Semuanya pengembangan cerita terlalu mudah untuk diprediksi sehingga penonton tidak mendapatkan kejutan cerita apapun. Bahkan beberapa konflik serius di antara tokohnya bisa dengan mudahnya terselesaikan seolah dengan satu jentikan jari. Ooh come on!

Segmen musikalnya adalah memang ruh filmnya yang seolah baru hidup jika momen ini muncul. Tak heran jika beberapa nomor lagunya bakal berjaya di ajang festival bergengsi bahkan hingga Academy Awards kelak. Semua nomor musikalnya yang mengalun dengan manis disajikan di atas rata-rata. Kombinasinya dengan teknik editing, pergerakan dan sudut kamera, tata cahaya, serta koreografi pemain membuat semua nomor musikalnya tersaji amat menawan. Belum lagi dukungan vokal para kastingnya yang beberapa diantaranya sudah tidak asing dengan genrenya atau dunia musik, seperti Hugh Jackman, Zack Efron, dan Zendaya. Hubungan Phillips (Efron) dan Anne (Zendaya) memang mencuri perhatian, dan satu segmen musikal akrobatik mereka berdua adalah yang terbaik sepanjang filmnya.

The Greatest Showman menampilkan beberapa nomor segmen musikal menawan dan dinamis dengan performa vokal prima dari para kastingnya. Namun, plot yang klise dan tergesa-gesa membuat jarak dengan penonton dan minimnya emosi dalam cerita. Film ini memang bukan seperti La la land yang mencoba untuk memberi tribute sekaligus mampu memberi sesuatu yang segar untuk genrenya. Jika kamu suka film musikal, atau musik dan tari, The Greatest Showman adalah sesuatu yang tidak bisa kamu lewatkan begitu saja.

WATCH TRAILER

PENILAIAN KAMI
Overall
70 %
Artikel Sebelumnya5 Cowok Jagoan
Artikel BerikutnyaSusah Sinyal
Hobinya menonton film sejak kecil dan mendalami teori dan sejarah film secara otodidak setelah lulus dari studi arsitektur. Ia mulai menulis artikel dan mengulas film sejak tahun 2006. Karena pengalamannya, penulis ditarik menjadi staf pengajar di Akademi Televisi dan Film swasta di Yogyakarta untuk mengajar Sejarah Film, Pengantar Seni Film, dan Teori Film sejak tahun 2003 hingga tahun 2019. Buku film debutnya adalah Memahami Film (2008) yang memilah seni film sebagai naratif dan sinematik. Buku edisi kedua Memahami Film terbit pada tahun 2018. Buku ini menjadi referensi favorit bagi para akademisi film dan komunikasi di seluruh Indonesia. Ia juga terlibat dalam penulisan Buku Kompilasi Buletin Film Montase Vol. 1-3 serta 30 Film Indonesia Terlaris 2012-2018. Ia juga menulis Buku Film Horor: Dari Caligari ke Hereditary (2023) serta Film Horor Indonesia: Bangkit Dari Kubur (2023). Hingga kini, ia masih menulis ulasan film-film terbaru di montasefilm.com dan terlibat dalam semua produksi film di Komunitas Film Montase. Film- film pendek arahannya banyak mendapat apresiasi tinggi di banyak festival, baik lokal maupun internasional. Baru lalu, tulisannya masuk dalam shortlist (15 besar) Kritik Film Terbaik dalam Festival Film Indonesia 2022. Sejak tahun 2022 hingga kini, ia juga menjadi pengajar praktisi untuk Mata Kuliah Kritik Film dan Teori Film di Institut Seni Indonesia Yogyakarta dalam Program Praktisi Mandiri.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.