thunderbolts

Bisa jadi Thunderbolts* adalah film MCU yang paling dinanti tahun ini oleh fansnya dengan menampilkan sosok-sosok “sidekick” super yang telah muncul sebelumnya. Film ini adalah seri ke-36 dari Marvel Cinematic Universe (MCU) yang digarap oleh sineas Jake Schreier. Film ini juga dibintangi sederetan aktor-aktris regulernya, yakni Florence Pugh, Sebastian Stan, Wyatt Russell, Olga Kurylenko, Lewis Pullman, Geraldine Viswanathan, David Harbour, Hannah John-Kamen, dan Julia Louis-Dreyfus. Dengan bujet raksasa USD 180 juta, apa yang kini ditawarkan lagi oleh MCU setelah beberapa tahun terakhir mengalami penurunan?

Eks Black Widow, Yelena (Pugh) kini bekerja di bawah perintah pimpinan CIA, Valentina de Fontaine (Dreyfus). Sebuah misi membawa Yelena ke lokasi rahasia, di mana para agen bawahan Fontaine rupanya berada semua di sana, yakni Ghost (Kamen), Task Master (Kurylenko), serta John Walker (Russel). Mereka akhirnya menyadari jika sang bos menginginkan semua bukti dihilangkan, termasuk nyawa mereka. Rupanya di sana juga terdapat seorang pria bernama Bob (Pullman) yang menjadi uji coba serum “super” yang didalangi Fontaine. Tanpa mereka sadari, Bob adalah sosok super sangat berbahaya yang tidak bisa dikontrol. Bucky Burnes (Stan) dan Red Guardian (Harbour) bergabung untuk mencegah bahaya besar bagi umat manusia.

Bagi para fans MCU tentu sudah akrab dengan semua karakternya, baik di film maupun serinya. Kita semua tahu, sosok-sosok utamanya memiliki sejarah yang kelam (antagonis), khususnya Barnes (The Winter Soldier) yang bahkan harus dibuat dua film. Yelena dan Red Guardian muncul dalam Black Widow dan seri Hawkeye (hanya Yelena), Ghost dalam Ant-Man and The Wasp, serta Walker dalam seri The Falcon and The Winter Soldier. Melihat latar tokohnya, premisnya jelas punya potensi menarik untuk dieksplorasi. Sayangnya, ekspektasi saya ternyata terlalu tinggi.

Ketimbang aksi rasanya film ini lebih tepat disebut sebagai drama psikologis. Tim sidekick ini harus berhadapan dengan sosok super multitalenta bernama Void yang mewakili trauma dan mimpi buruk mereka. Apakah plotnya cukup untuk menekel tema berat ini? Tentu saja tidak dan terlalu luas jika dieksplorasi kisahnya secara mendalam, kecuali secuil masa suram Yelena dan Walker. Sepanjang plotnya justru didominasi oleh para tokohnya yang beradu mulut dan argumen. Humor sering kali tidak pada tempatnya dan kadang berlebihan. Hal ini menyebabkan tidak adanya ancaman yang berarti dan memengaruhi empati kita pada karakternya. Ringkasnya, kita sulit untuk peduli, dan bagi fans MCU rasanya tidak sulit untuk mengantisipasi ke mana arah kisahnya kelak.

Baca Juga  Hunter Hunter

Melalui para tokoh yang fans MCU kenal betul, Thunderbolts* hanyalah semata film pengisi tanpa adanya ancaman dan urgensi berarti, plus humor yang berlebihan. Pencapaian aksinya memang tidak jauh berbeda dari standar film MCU lainnya dengan kali ini plus segmen ala “Inception”. Apalah aksi-aksi spektakuler tanpa adanya ancaman kuat? Naskahnya terlihat telah berupaya untuk membuat sentuhan baru tanpa memasukkan superhero besarnya, namun ini masih belum cukup. Kisahnya hanya terasa sebagai satu eksposisi besar bagi tim super baru ini.

Ending-nya justru memicu banyak pertanyaan baru. Titelnya mestinya bukan Thunderbolds*, namun adalah The Avengers*. Dengan keterangan di bawahnya, *bukan member Avengers orisinal. Wajar jika sosok lainnya ingin ketenaran dan menjadi idola, namun Bucky? Apa lagi yang ia cari setelah semua peristiwa yang ia hadapi? Satu post credit scene makin menegaskan kelak bagaimana sosok-sosok tidak berpengalaman ini menghadapi kasus di alam raya yang maha luas. Sebagai fans MCU “lawas”, saya juga tidak lagi berharap besar dengan kelanjutan kisah semesta sinematiknya. Rasanya pernyataan Martin Scorcese beberapa tahun lalu kini ada benarnya, “MCU hanya ibarat theme park”.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
55 %
Artikel SebelumnyaFilm Klasik Italia, La Provinciale, Resmi Menutup Italian Film Festival 2025: Venice In Jakarta
Artikel BerikutnyaThe 26th JEONJU International Film Festival (2025)
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

2 TANGGAPAN

  1. Rasanya itu cuma masalah beda selera saja. Pendekatan film ini segar, menyajikan film super hero yang nggak melulu soal action. Konfliknya muncul dengan cara berbeda dari kebanyakan film super hero lainnya, tapi dengan pendekatan khas Marvel dengan menempatkan sosok antagonis dari sudut pandang yang empatik. Film ini jauh lebih berbobot secara alur konflik dan emosional dibandingkan dengan Captain America terakhir yang tayang sebelumnya. Jadi sangat wajar jika skor rotten tomatoes-nya pun sangat positif dibandingkan beberapa film garapan sebelumnya.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses