Bu Tejo dan ibu-ibu warga desa telah selesai menilik Bu Lurah dalam film pendek Tilik, lalu berlanjut dalam bentuk series. Kini mereka tidak lagi menilik orang sakit, melainkan kehidupan sehari-hari secara lebih luas. Keseharian sebenarnya Bu Tejo, Bu Tri, Yu Ning, dan ibu-ibu lainnya, bahkan bapak-bapak serta para pemuda di desa. Siti Fauziah sebagai pemeran Bu Tejo menerangkan maksud dari “tilik” kali ini yang sudah berbeda dari Tilik versi film pendek.

“Prinsipnya adalah tilik itu sebenarnya membesuk, menjenguk. Itu bagian dari kepedulian terhadap lingkungan. Jadi tilik itu mengunjungi sesuatu, melihat sesuatu. Nah, tilik yang dimaksud sekarang ini juga melihat lebih dekat kehidupan yang jauh dari nuansa kota. Terlebih, situasi politik yang paling bawah, yaitu pemilihan lurah. Tidak hanya untuk menilik personnya, tetapi membaca situasi lebih besarnya,” katanya menjawab pertanyaan dari salah seorang penonton. Tilik the Series tayang secara reguler setiap minggu di platform WeTV sejak 31 Maret. Tilik the Series diarahkan oleh Wahyu Agung Prasetyo dan ditulis olehnya pula bersama, Ludy Oji Prastama, Bagus Sumartono, dan Vanis.

WeTV kemudian memprakarsai sebuah pemutaran ekslusif dan mempertemukan para pemain Tilik the Series dengan penonton. Acara tersebut telah terselenggara di Bioskop Sonobudoyo, Yogyakarta, lebih dari sepekan lalu, pada tanggal 11 April 2023. Pemutaran eksklusif ini juga turut mengundang beberapa media, komunitas film, serta mahasiswa. Tercatat, para pemeran yang mengisi sesi tanya-jawab di ruang pemutaran Bioskop Sonobudoyo yaitu Siti Fauziah (Bu Tejo) dan Ibnu Widodo (Pak Tejo), lalu Putri Manjo (Bu Tri), Brilliana Desy Arfia (Yu Ning), Seteng Sadja (Hartono), serta tentu saja duo komikal Jamaludin Lutif dan Aryudha Fasha sebagai Kotrek dan Nopek.

Antusiasme penonton cukup besar pada waktu itu, karena beberapa dari mereka mengenal beberapa pemeran Tilik the Series. Bahkan ada yang mengidolakan mereka. Tak ayal bila kemudian keseluruhan sesi pemutarannya berlangsung ramai dan renyah hingga acara usai. Lagipula series tersebut merupakan drama komedi hiruk-pikuk warga desa dengan segala konflik kepentingan mereka masing-masing. Pak Tejo berhasrat menjadi lurah baru, sedangkan Hartono enggan kalah saing dan ingin menyalonkan diri pula. Jadi keduanya melakukan strategi kampanye masing-masing. Pak Tejo yang jarang serawung (bersosial dengan warga) sangat mengandalkan istrinya untuk mengumpulkan tim sukses, sedangkan Hartono bergerak dengan hartanya. Namun, gerak-gerik Pak Tejo yang kadang tampak janggal dicurigai oleh Yu Ning, yang sangat ingin Bu Lurah yang masih menjabat agar mencalonkan diri kembali.

Konflik dalam Tilik the Series jelas merupakan intrik politik antara Pak Tejo dan istrinya, Hartono, serta Yu Ning. Bu Tejo pun kerap bergerak dengan Bu Tri sebagai karibnya. Sementara itu, Nopek sebagai rekan sesama sopir truk dengan Kotrek sekaligus Ketua Karang Taruna, hanya ingin berpihak kepada siapa pun calon yang peduli terhadap karang taruna. Melalui episode pertama dan kedua yang ditayangkan eksklusif pekan lalu, tanda-tanda konfrontasi di antara mereka telah menyeruak secara perlahan. Meski belum gamblang. Termasuk tindakan-tindakan mencurigakan Pak Tejo yang menargetkan tanah kas desa.

Baca Juga  Sweet Girl

Kendati memuat persoalan serius, Tilik the Series masih mempertahankan beberapa spirit dari film pendeknya. Salah satunya yakni kecenderungan Bu Tejo yang bakal mengeluh dengan cara bicara cepat kepada siapa pun yang sedang bersamanya. Walau orang tersebut tak punya salah. Ciri khas yang senantiasa dinantikan oleh sejumlah penonton film pendeknya. Pun demikian interaksi antara tiga ibu-ibu sorotan desa, yaitu Bu Tejo, Bu Tri, dan Yu Ning. Ditambah, hubungan Bu Tejo dan Yu Ning tak pernah benar-benar akur.

Tilik the Series juga tak sekadar kisah drama komedi politik belaka. Sinematografinya pun digarap dengan serius saat ada peluang untuk melakukan kreasi. Salah satu scene ikonik dari dua episode awal adalah keriuhan ibu-ibu saat rewang (bantu-bantu mengurus acara) di dapur, yang diambil dengan long take beberapa kali. Beragam improvisasi pun dilakukan oleh para pemain di sana. Termasuk celetukan-celetukan lucu serta praduga tak berdasar oleh ibu-ibu yang terbiasa menggosip sambil masak. Kita tentu tahu long take menuntut banyak ketelitian agar tak menggagalkan kontinuitas. Jadi saat series bernuansa lokal macam Tilik menggunakannya, maka semakin menyenangkan untuk menonton kelanjutannya.

Dua episode awal Tilik pun meninggalkan banyak pertanyaan, baik soal latar belakang setiap tindakan para tokoh sentral, hingga letak tempat-tempat penting dalam cerita. Di manakah posisi Kantor Kelurahan, tanah kas desa, rumah Bu Tejo, rumah Bu RT, pos kamling, warung Nopek, dan rumah Hartono. Setiap film maupun series yang menggunakan latar tempat berupa sebuah desa kerap mengalami kendala semacam ini. Meski kadang tak perlu dipersoalkan, tergantung kebutuhan cerita karena kaitannya dengan logika jarak antartempat.

Tilik the Series masih merilis episode baru secara berkala hanya di WeTV. Para pemainnya juga menerapkan cara yang mereka yakini dalam membedah naskah yang didapatkan dan menggali karakter masing-masing. Termasuk Siti Fauziah sebagai Bu Tejo. Untuk memerankan sosok Bu Tejo dengan baik, Fauziah melakukan pencariannya sendiri, bagaimana implementasi yang paling tepat berdasarkan karakter istri Pak Tejo yang kerap frontal tersebut. Gestur badan, cara bicara atau berinteraksi, kecenderungan sikap, hingga pilihan tindakan yang dia peroleh dengan meriset dua teman dekatnya.

“Role modelnya adalah, kebetulan, aku punya dua sahabat dekat. Yang satu suka sekali mengoreksi hidup temannya, yang satu (suka) memprovokasi. Nah, ini dua karakter yang kemudian bayangkanku Bu Tejo itu kayak begini. Tapi mereka ini teman yang sangat baik, paling maju ke depan kalau ada temannya yang susah. Nah, itu yang menjadi catatanku.,” ungkapnya. Tilik the Series tak sekadar menghibur semata, tetapi muatannya juga lekat dengan lokalitas warga desa berlatarkan daerah Jawa. Namun, masih ada episode-episode berikutnya yang belum kita ketahui, sehingga tak adil bilamana segala kemungkinan perkembangan naskahnya sudah kita tutup di sini.

Artikel SebelumnyaGuy Ritchie’s The Covenant
Artikel BerikutnyaShort: Kasat Mata
Miftachul Arifin lahir di Kediri pada 9 November 1996. Pernah aktif mengikuti organisasi tingkat institut, yaitu Lembaga Pers Mahasiswa Pressisi (2015-2021) di Institut Seni Indonesia Yogyakarta, juga turut andil menjadi salah satu penulis dan editor dalam media cetak Majalah Art Effect, Buletin Kontemporer, dan Zine K-Louder, serta media daring lpmpressisi.com. Pernah pula menjadi kontributor terpilih kategori cerpen lomba Sayembara Goresan Pena oleh Jendela Sastra Indonesia (2017), Juara Harapan 1 lomba Kepenulisan Cerita Pendek oleh Ikatan Penulis Mahasiswa Al Khoziny (2018), Penulis Terpilih lomba Cipta Puisi 2018 Tingkat Nasional oleh Sualla Media (2018), dan menjadi Juara Utama lomba Short Story And Photography Contest oleh Kamadhis UGM (2018). Memiliki buku novel bergenre fantasi dengan judul Mansheviora: Semesta Alterna􀆟f yang diterbitkan secara selfpublishing. Selain itu, juga menjadi salah seorang penulis top tier dalam situs web populer bertema umum serta teknologi, yakni selasar.com dan lockhartlondon.com, yang telah berjalan selama lebih-kurang satu tahun (2020-2021). Latar belakangnya dari bidang film dan minatnya dalam bidang kepenulisan, menjadi motivasi dan alasannya untuk bergabung dengan Komunitas Film Montase sejak tahun 2019. Semenjak menjadi bagian Komunitas Film Montase, telah aktif menulis hingga puluhan ulasan Film Indonesia dalam situs web montasefilm.com. Prestasi besar terakhirnya adalah menjadi nominator Festival Film Indonesia 2021 untuk kategori Kritikus Film Terbaik melalui artikel "Asih, Cermin Horor Indonesia Kontemporer" bersama rekan penulisnya, Agustinus Dwi Nugroho.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.