Bisnis gelap, kabar burung, kelompok mafia, dan vigilante memang punya sisi menarik sebagai dasar sebuah cerita film. Setidaknya bagi penggemar. Rama DeRanau lantas memasukkan semua itu ke dalam film arahannya, Topeng, Bramacorah, dan Media Sosial. Dia juga yang menulis film ini bersama Wikan Saputri, sekaligus memproduseri, serta menjadi salah seorang pemain dan editor. Film kriminal sarkasme dan komedi yang rilis di Vidio dan Genflix ini diperani oleh Gerald Abdullah, Rama DeRanau, Ferly Halim, Rino Mangunsaputro, dan Olifia Nifri. Penasaran dengan cara Rama menyampaikan idenya? Tidak perlu berharap banyak.
“Berapa banyak sih orang yang menonton film indie?”
Lingkungan masyarakat awam tengah ramai oleh berita tentang seseorang bernama Rama Wijaya (Rama DeRanau). Pebisnis ulung yang didera berbagai rumor tak sedap mengenai identitas aslinya sebagai bos mafia sekaligus Bramacorah (residivis). Seorang jurnalis terkenal, Ferly Pranata (Ferly Halim) kemudian memberanikan diri untuk mewawancarainya. Namun, apakah nasibnya berujung baik-baik saja? Rama dan kelompoknya mungkin sebetulnya menyembunyikan sesuatu.
Sudah pernah menonton film-film kelas C atau yang biasa dikenal sebagai C movie? Sebuah pengelompokan yang dibuat untuk film-film yang bahkan tidak termasuk kualifikasi B movie. Atau film-film indie yang berbujet kecil, baik panjang maupun pendek? Kenyataan inilah yang pasti didapatkan ketika menonton Topeng, Bramacorah, dan Media Sosial. Proyek film panjang ambisius dari seorang Rama DeRanau, namun digarap alakadarnya dengan bujet minim. Betapapun sang sineas menggunakan konsep “eksperimental” agar bisa mengemas idenya dengan biaya rendah, tetap saja tak masuk akal untuk menjadi alasan kegagalan eksekusi film ini. Bagaimanapun kuat atau menariknya ide cerita yang dia angkat. Lihat saja yang terjadi pada film idealis berjudul Tengkorak!
Jika kita hanya membicarakan isu, konteks, atau topik kontroversial, film ini memang membawakannya dengan begitu menggebu-gebu. Gamblang dan terang-terangan, bahkan dalam mengkritik hal-hal tabu sekalipun. Namun sebuah film tidaklah berhenti pada perbincangan ihwal konteks belaka. Ada yang namanya eksekusi filmis di sana, dengan aspek naratif dan sinematik. Isu, ide cerita, atau topik hanyalah objek dasar yang kemudian mesti diolah dengan baik lewat skenario (naratif). Bila naskah yang notabene mengolah ide tersebut dikerjakan dengan serampangan, maka habislah sudah. Kita tak bisa berharap banyak akan mendapat sajian mengesankan dari film tersebut. Dan begitulah Topeng, Bramacorah, dan Media Sosial ini menyampaikan ide dari sineasnya.
Konsep eksperimental, sarkasme, sindiran, maupun semiotika tidak melulu bisa digunakan untuk membenarkan sebuah film yang dikemas aneh. Mereka bisa dijadikan alasan, selama penggunaan aspek-aspek filmis lainnya dikerjakan dengan baik. Selama ada dasar yang kuat, mengapa mesti menggunakan mereka. Tidak lantas asal-asalan ada, atau sekadar mencocokkan berbagai macam elemen dan mencampurkan semuanya ke dalam film. Kita toh sudah sering sekali menjumpai film-film semacam ini, yang dielu-elukan hanya karena perkara tekstualnya, tanpa memperhatikan segi estetiknya (naratif dan sinematik).
Topeng, Bramacorah, dan Media Sosial cukup punya daya tawar dari ide cerita dan keberanian pengangkatan isu, tetapi gagal memperhatikan eksekusi estetiknya. Sutradaranya saja tidak hanya mengerjakan naskah, tetapi juga memproduseri, menjadi salah seorang pemain, serta menggarap editing film ini. Banyak sekali contoh film Indonesia yang dibuat dengan cara seperti ini, baik yang populer maupun tidak. Film ini pun pada akhirnya sulit dianggap sebagai sebuah karya yang serius, ketika melihat langkah sang sineas dalam mengeksekusi idenya.