triangle of sadness
Triangle of Sadness (2022)
147 min|Comedy, Drama|18 Sep 2022
7.3Rating: 7.3 / 10 from 195,905 usersMetascore: 63
A fashion model celebrity couple join an eventful cruise for the super-rich.

Genap 2 kali, Ruben Ostlund berhasil membawa pulang penghargaan film paling prestisius di dunia, yakni Palme Dor, penghargaan tertinggi Festival Cannes. Pertama melalui The Square—sebuah cerita yang agaknya tidak familiar di dalam sinema—menyuguhkan perjalanan seorang seniman instalasi yang punya ambisi humanis, namun paradoks dengan sifatnya yang dehumanis. Dan yang kedua melalui Triangle of Sadness, film terbarunya—yang membawa Ostlund pada keberuntungannya memenangkan Palme Dor tahun 2022. Ruben Ostlund adalah pakarnya menciptakan film yang bernuansa komedi gelap dan satir yang santer. Agaknya ia merupakan pelaku satir yang paling intelek untuk saat ini.

Filmnya yang terbaru, Triangle of Sadness diperankan oleh Charlbie Dean, Harris Dickinson, Woody Harrelson, Dolly De Leon, Vicky Berlin, Zlatko Buric, dan masih banyak lagi yang tak bisa diikutsertakan dalam tulisan ini. Tak lupa juga produsernya yang telah lama menjadi kolaboratornya, Erik Hemmendorf. Skenario Triangle of Sadness ditulis sendiri oleh Ruben Ostlund, dan diarahkan langsung olehnya. Ruben Ostlund membagi Triangle of Sadness menjadi 3 bab berdasarkan tempat dan apa yang dilucutinya. Namun outline dari film ini sebenarnya cuman terfokus pada 1 pembabaran—yaitu menertawai tingkah (memalukan, buruk, menjilat, merasa berkuasa, menjaga kehormatan, perhitungan, dan lainnya) orang kaya.

Yaya dan Carl (BAB I)

Dibuka dengan mengenalkan pasangan muda yang mengalami tingkat kepercayaan rendah pada hubungan mereka sendiri (sebenarnya). Yaya, seorang model terkenal, dan Carl terlihat baru merintis—tapi ia punya modal ketampanan—tapi bukan itu yang terpenting. Pada sebuah rumah makan, keduanya meributkan soal siapa yang berhak membayar tagihan makanan. Carl merasa Yaya yang pantas, karena pacarnya lebih punya banyak uang ketimbang dirinya—dan Carl telah banyak mengahamburkan uang pada makan malam mereka sebelum-sebelumnya. Tarik ulur tersebut menjadi masalah yang terus disuguhkan oleh Ostlund, tak cuman berhenti di rumah makan, bahkan di dalam mobil, sampai dengan masuk lift. Dan kita akan merasakan kedekatan pada peristiwa demikian—betapa sensitifnya pembahasan uang dalam sebuah hubungan percintaan.

Kapal Pesiar (BAB II)

Masih dengan Carl dan Yaya. Mereka tiba-tiba saja telah berada di sebuah pelayaran kapal pesiar yang mewah. Di sini relasi dengan para tamu kaya raya pun berlangsung. Dan cerita tak lagi fokus pada sepasang kekasih itu—melainkan keseluruhan subjek yang bergerak di kapal itu. Kapten yang doyan mabuk dan tak memiliki prinsip, orang Rusia yang kaya sebab menjual tahi, pria penyendiri namun memiliki harta yang berlimpah, sampai cleaning service yang semuanya berasal dari Filipina. Pada bagian inilah narasi begitu kompleks. Agenda Makan Malam Kapten menjadi peristiwa sentral yang dapat kita gunakan sebagai penarikan kesimpulan. Bahwa betapa kayanya para tamu yang ada di kapal pesiar, namun juga betapa bodoh dan naifnya mereka.

Baca Juga  Justice League: Crisis on Infinite Earths – Part One

Pulau (BAB III)  

Alkisah kapal tenggelam karena dibombardir kekacauan bahkan oleh sekolompok perompak setelah peristiwa Makan Malam Kapten—dan yang selamat hanya beberapa orang saja. Mereka terdampar di sebuah pulau yang dirasa tak berpenghuni. Jelas, uang dan semacamnya tak memiliki kegunaan di sini—hanya ada kerja sama untuk bertahan hidup. Namun mereka memiliki keegoisan sendiri—dan kita mewajari dan menyadari itu sebab mereka adalah orang-orang kaya sebelum kejadian ini. Mereka tak bisa berburu ikan bahkan menyalakan api unggun. Maka di tengah situasi itulah Abigail menjadi patron, sekaligus mendirikan matriarkat. Sebelumnya, ia cuman cleaning service, dan pada situasi tersebut ia adalah orang yang berkuasa. Semua menjilatinya, sampai Carl rela tidur bersamanya demi satu pak pretzel sticks.

Kisi-kisi di atas belum menjelaskan keseluruhan dari tusukan-tusukan satir yang dihadirkan dalam Triangle of Sadness—semisal sikap dan tingkah laku yang memalukan dari orang-orang kaya dalam menghadapi para pelayan di kapal pesiar, atau ejekan kecil dari Dimitry untuk Yaya, “naik kapal pesiar dengan tampang”. Halus, pelan tapi menyakitkan. Ruben Ostlund memancangkan banyak suasana canggung serta ketaknyamanan dalam filmnya. Makan Malam Kapten menjadi adegan yang paling epik di sini—ketika sebuah makan malam tak terlaksana dengan hikmat akibat badai dan ombak besar—sebagian tamu mabuk laut dan kemudian muntah—sementara yang lainnya berusaha tetap menjaga kehormatan meskipun mereka tahu betapa bodohnya diri mereka.

Triangle of Sadness memang tidak se-powerful The Square dalam pelayarannya membabarkan maksud. The Square lebih mudah untuk kita ajak kompromi mengenai apa yang sesungguhnya berusaha disuguhkan. Sedang Triangle of Sadness terlihat berupaya keras untuk menjadi lebih sentimentil. Lebih dari itu, satir adalah kelebihan yang dimiliki film ini. Hampir di semua sekuen-adegan membentuk ejekan. Produk fashion dan acara catwalk tak lepas dari satir Ostlund—H&M riang, Balenciaga garang. Setiap babak tak pernah kosong oleh cibiran. Ostlund bermain dengan stereotipe persoalan kelas—diiringi struktur pembabakan yang elegan.

PENILAIAN KAMI
Overall
85 %
Artikel SebelumnyaThe Swallows of Kabul
Artikel BerikutnyaArmageddon Time
Azman H. Bahbereh, lahir dan besar di Singaraja, Bali. Saat ini menempuh pendidikan di Kota Malang. Kegemarannya menonton film telah tumbuh semenjak kecil ketika melihat tarian dengan iringan musik dari jagat sinema Bollywood, terkhusus Soni Soni Akhiyon Wali di film Mohabbatein. Selain menulis film-film yang ditontonnya, ia juga aktif menulis puisi dan bergiat di komunitas sastra yang ada di Kota Malang.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.