Watch our video review in english below.

   Jason Blum seperti kita tahu banyak memproduksi film-film horor low budget yang sukses komersial bahkan terkadang kritik, sebut saja seri Insidious, Paranormal Activity, The Visit, Ouija, Happy Death Day, hingga Get Out. Truth or Dare dengan bujet produksi US$ 3,5 juta rasanya juga memiliki potensi komersial yang sama. Digarap oleh Jeff Wadlow (Kick Ass 2), film ini dimainkan beberapa bintang muda, macam Lucy Hale, Tyler Posey, serta Violett Beane. Seperti kebanyakan film sejenisnya, kisah dan premisnya amat sederhana yakni untuk memotivasi adegan aksi ketegangan dan horor untuk muncul.

     Olivia diajak rekan-rekannya berlibur ke sebuah pantai di Mexico. Suatu ketika, seorang pemuda yang baru Olivia kenal mengajak mereka untuk mengunjungi sebuah gereja tua. Di sana mereka bermain “truth or dare”, dan sesuatu yang aneh pun terjadi setelahnya. Oleh suatu kekuatan jahat misterius, mereka dipaksa bermain “truth or dare”, namun kali ini nyawa mereka menjadi taruhannya.

    Bagi yang sudah pernah menonton seri Final Destination, plot film ini memang terasa agak mirip. Sekelompok muda-mudi secara bergiliran harus menghadapi ujian untuk bisa lolos dari kematian, dan Truth or Dare kurang lebih sama. Hanya saja, tantangannya kali ini harus berbicara jujur atau melakukan satu aksi gila agar mereka selamat. Kekuatan filmnya ada di momen ini. Dengan tempo tanpa henti, film ini menampilkan adegan demi adegan penuh ketegangan dan mampu meneror mental penonton secara konstan. Remaja yang menjadi sasaran target penontonnya jelas akan menikmati momen-momen ini.

     Satu hal yang membuat film ini terasa “murahan” adalah sisi moralnya. Premis filmnya yang sudah dibangun dengan baik, seolah memiliki pesan terhadap nilai-nilai dalam generasi muda yang kini mulai meluntur, seperti kejujuran dan mengutamakan kepentingan dirinya sendiri. Terlebih, awal mulai masalah cerita berlokasi di sebuah gereja yang telah terabaikan, seolah menandakan sisi religius yang kini mulai melonggar di kalangan remaja. Kutukan “truth or dare” hanyalah sebuah simbol untuk menggambarkan situasi ini. Namun, apa yang tersaji di kisah filmnya, jauh dari ini semua. Film ini justru menampilkan sisi moral yang telah menipis dan sama sekali tidak menawarkan solusi baik melalui nilai-nilai luhur manusia. Jika seseorang memaksamu untuk berbuat sesuatu yang tak terpuji dan nyawamu atau rekanmu jadi taruhannya, haruskah kamu melakukannya? Sebuah dilema moral besar tapi kita semua tentu tahu jawabnya.

Baca Juga  Willy's Wonderland

     Walau tak segar, Truth or Dare memiliki tensi ketegangan yang cukup untuk target penontonnya, namun kelemahan terbesar filmnya adalah tidak memiliki muatan moral yang sepatutnya ada. Mungkin opini ini bisa salah, Truth or Dare secara sederhana hanya ingin menyampaikan betapa rusaknya sisi moral dan manusiawi, umat manusia saat ini. Film memang tidak melulu harus menampilkan sisi buruk atau baik, atau memaksakan sisi moral bahkan religius sebagai poin utamanya. Namun, untuk target genrenya yang didominasi kaum remaja, setidaknya film ini mampu memberikan pesan yang baik dan bisa menjadi teladan bagi mereka, khususnya saat ini, di dunia yang semakin kabur antara hitam dan putih.

WATCH OUR REVIEW

PENILAIAN KAMI
Overall
30 %
Artikel SebelumnyaPoster Deadpool 2 yang Menggelitik
Artikel BerikutnyaRaffi Ahmad Ketagihan Garap Film Horor
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.