Apa yang ada dibayangan perempuan muda berusia 20-an mengenai masa depannya? Mimpi indah, karir yang baik, tabungan yang terus meningkat nominalnya, kecantikan sepanjang masa, mendapatkan suami idaman dan membangun rumah tangga yang manis dengan anak-anak yang lucu. Siapa yang tidak menginginkan itu semua? Hingga memasuki usia 30-an, lalu perlahan beranjak ke usia 40-an, banyak perempuan ternyata justru “terjebak” dalam kehidupan ke”ibu”annya.
Tully mengajak kita untuk memahami kondisi para ibu yang diperankan dengan sangat baik oleh aktris pemenang Oscar, Charlize Theron. Marlo merupakan seorang ibu dengan tiga anak, suami yang sibuk bekerja dan kondisi keuangan yang minim. Ia pun kelelahan, depresi, dan tentu saja sudah tidak punya waktu untuk memeperhatikan penampilannya. Marlo pun menghubungi pengasuh anak di malam harinya atas bantuan dari sang kakak yang iba terhadap dirinya. Dengan kehadiran pengasuh,Tully, perlahan-lahan ia menjadi lebih bersemangat dan kondisi keluarganya pun membaik.
Dikisahkan bahwa Marlo sibuk bekerja dari merawat anak hingga mengurus segala kebutuhan rumah tangga. Ia tidak dibantu banyak oleh sang suami karena juga sibuk bekerja dan sering bertugas ke luar kota. Tentu saja, kondisi ini sangat melelahkan dan memicu stress. Hingga kondisi depresi pun tidak terhindarkan. Pada kondisi ini, seringkali perempuan merasa berada di titik terendah hingga menilai dirinya tidak menarik lagi. Kehidupan jadi terasa tidak menantang dan membosankan. Melihat perempuan-perempuan muda yang goodlooking dan bisa hangout sesuka hati menjadi sinis, karena sejujurnya perasaan pesimis melanda di hati terdalam. Marlo pun sangat mengagumi sosok “Tully” yang ia dambakan sebagai sosok ideal. Sosok perempuan yang penuh semangat muda, banyak tersenyum, percaya diri dan dapat mengatasi masalahnya satu per satu.
Perubahan kondisi dari gadis muda belia menjadi seorang ibu yang kelelahan pun memicu perubahan nilai diri. Penilaian terhadap diri sendiri, bagi perempuan amatlah penting. Hal ini dipengaruhi oleh faktor dari dalam dan luar diri. Ketika menyadari bahwa diri sendiri tidak lagi semenarik dan sebebas dulu, perempuan membutuhkan dukungan untuk merasa yakin agar dapat berkata pada diri sendiri: i’m fine! Lalu bagaimana itu bisa terwujud? Tentu saja butuh dukungan dari pasangan.
Suami adalah orang terdekat yang seharusnya setia dalam segala kondisi. Tapi apa yang terjadi ketika memiliki suami yang cuek dan sibuk bekerja seperti sosok Drew, suami Marlo? Hampa. Feeling empty. Tepat seperti yang digambarkan oleh sosok Marlo. Dia memiliki suami dan anak, namun merasa sendiri. Ini sungguh berbahaya, apalagi perasaan sepi dan sendirian dapat membuat perempuan terjerumus dalam pikirannya sendiri dan terperosok ke jurang penilaian diri yang sangat rendah hingga merasa sudah tidak menarik dan berharga lagi. Kerinduan akan keunggulan dirinya di masa lalu – yang atrakif dan aktual – pun semakin menjadi. Pada kondisi ini, Marlo pun digambarkan tidak dapat membedakan antara kenyataan dan khalayan. Kondisi psikologisnya sangat terganggu. Andai saja ia memiliki seseorang yang perhatian, ia tidak akan punya waktu untuk merasa kesepian.
Mengapa ketika sudah berumahtangga suami dan istri tidak lagi mesra seperti waktu pacaran? Apakah karena kesibukan? Ingatlah, saat kita masih muda pun sudah memiliki segudang kesibukan. Karena bosan? Sungguh tidak bijak. Penuh tekanan? Ya, memang ketika sudah memiliki pekerjaan dan anak, tekanan hidup menjadi lebih besar. Tapi, bukankah justru itu membuat kita ingin segera berlari ke pasangan untuk berkeluh kesah, mencari sumber semangat dan saran-saran membangun? Oh, ternyata ketika orang sudah terlalu lelah dan penat ia akan lebih memilih ‘melarikan diri’ pada hal yang ia suka, yakni ketenangan dengan cara menghindari masalah.
Menurut penelitian rata-rata perempuan bicara 20.000 kata sehari sedangkan laki-laki hanya 7.000 kata. Drew lebih memilih untuk bermain game tanpa banyak mengajak ngobrol istrinya meskipun berada di kamar yang sama. Drew pun hanya mencium Marlo saat menyapanya. Tidak ada kontak fisik yang mesra, tidak ada obrolan yang intens. Bagaimana dengan Marlo? Ia memilih untuk memendam semuanya sendiri, tidur membelakangi suami, dan tidak banyak memintanya bantuan untuk mengurus segala sesuatu. Bagaimana hubungan suami istri bisa dingin seperti ini? Kemungkinan besar adalah berkurangnya rasa percaya, sehingga tidak nyaman lagi untuk saling berbagi dalam segala hal. Rasa percaya bahwa satu sama lain masih saling peduli. Rasa percaya bahwa keduanya bisa saling menguatkan, hingga mampu bersinergi untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang seperti diimpikan bersama. Lalu apa yang menyebabkan rasa percaya itu bisa berkurang?
Komunikasi merupakan kunci dari kenyamanan. Komunikasi dapat membobol benteng besar antar individu. Dengan adanya komunikasi baik verbal maupun non-verbal, interaksi pasangan akan semakin intens sehingga nyaman untuk bertukar pikiran, mengungkapkan perasaan, dan terus menjalin keintiman. Tentu saja, miss communication pasti bisa terjadi. Namun, hal ini dapat diselesaikan dengan cara mengkomunikasikan segala penjelasan hingga mencapai titik temu dan hubungan pun akan kembali harmonis. Bandingkanlah jika komunikasi tidak terjadi, seolah tidak ada masalah karena tidak ada miss communication, tidak ada adu argumen, tapi sebenarnya justru masalah hanya terpendam dan membebani batin. Kondisi psikologis pun semakin terganggu.
Saatnya untuk belajar memahami psikologi komunikasi. Kualitas komunikasi sangat bergantung pada kondisi psikologis seseorang. Apakah orang tersebut sedang bahagia, sedih, nervous, stress dan lainnya akan tampak dari caranya berkomunikasi. Tetapi, begitu juga sebaliknya. Kualitas komunikasi yang dilakukan oleh seseorang mempengaruhi kondisi psikologisnya. Kondisi psikologis yang buruk dapat menghambat proses komunikasi. Untuk itu, seburuk apapun kondisi psikologis seseorang, teruslah berusaha untuk berkomunikasi. Dengan terjalinnya komunikasi, lawan bicara akan perlahan memahami apa yang kita pikirkan dan rasakan. Tentu saja, pasangan kita pun cepat atau lambat akan berupaya untuk menolong kondisi kita. Komunikasi dua arah sangat mendukung terjalinnya kepedulian dari dua arah juga.
Kekosongan yang dirasakan oleh Marlo ini tidak akan terjadi apabila komunikasi yang baik terus terjalin dengan sang suami. Ia akan tetap merasa kuat jika saja mendapatkan dukungan dari orang lain dan hal ini terbukti saat sosok Tully hadir dalam hidupnya. Tully mengajaknya bicara, menanyakan kabarnya, apa keinginannya dan mengajaknya bersenang-senang. Perhatikan bagaimana perubahan demi perubahan terjadi sehingga Marlo menjadi lebih bersemangat, banyak senyum, dan melakukan aktifitas menyenangkan seperti membuat kue. Bahkan, ia mulai mengenakan make-up untuk membuat penampilannya lebih menarik. Mengapa kondisi baik ini harus menunggu hadirnya sosok lain dari luar lingkungan keluarga? Andai saja sang suami sedikit lebih perhatian untuk memantik diskusi dan memberikan kelembutan agar Marlo dapat lebih lega juga nyaman dalam kehidupan sehari-harinya. Tapi, bahkan Drew hanya mencium hambar kening Marlo yang sudah jelas tatapannya kosong bagai tak berpenghidupan. Marlo pun tidak berupaya lebih, hingga akhirnya mereka menjadi lebih akrab setelah hubungan mesra terjadi pada suatu malam.
Baik laki-laki maupun perempuan, memang perlu mengupayakan jalinan komunikasi dengan kualitas dan kuantitas yang baik. Meskipun saya perempuan, saya memilih untuk tidak berpihak kepada Marlo maupun Drew. Sejatinya, kualitas perempuan sangat dipengaruhi oleh lingkungannya sejak kecil. Sebagai contoh, anak perempuan yang diasuh dengan penuh kelembutan tetapi juga diajarkan untuk mandiri akan cenderung menjadi anak perempuan yang lemah lembut tapi dapat menyelesaikan tanggungjawabnya dengan baik. Contoh lainnya adalah perempuan yang terbiasa dipuji cenderung akan menetapkan standar pasangan yang baik karena ia menyakini bahwa ia memiliki nilai yang unggul sehingga merasa berhak memiliki pasangan dengan standar tertentu. Keyakinan ini bisa didapatkan dari berbagai interaksi dan pengakuan melalui komunikasi verbal dan non-verbal. Maka tidak heran, baik secara akademis maupun agamis, selalu disarankan agar suami menyempatkan waktu untuk mengajak istri mengobrol dan bersenda gurau hingga memberikan pujian dengan kata-kata yang lembut.
Seperti yang Tully katakan pada Marlo, “Kamu tidak akan menjadi ibu yang baik jika kamu tidak memperhatikan dirimu”, bahwa perempuan akan berdaya dan berkontribusi dengan baik jika kebutuhan akan dirinya sendiri belum terpenuhi. Ia harus lebih dahulu memperhatikan dirinya, mengetahui apa kebutuhannya dan keinginannya sehingga menjadi percaya diri untuk mengurus keluarganya dengan baik. Saatnya perempuan menikmati hidupnya, melakukan apa yang ia ingin lakukan sehingga dapat menjadi ratu rumah tangga yang sebenarnya. Tully merupakan gambaran sempurna akan kehidupan perempuan, dimana setiap perempuan memiliki sosok diri yang menjadi impian dan ingin terus dipertahankan tentu saja dengan dukungan dari pasangannya. Saat ibu digambarkan sebagai jantung keluarga, sudah seharusnya sosok ibu mendapatkan kenyamanan psikologis agar dapat memberikan seluruh kasih sayangnya kepada keluarga melalui komunikasi yang efektif sehingga menciptakan kondisi psikologis yang baik untuk anak-anaknya agar kelak menjadi individu yang humanis.
Debby Dwi Elsha