Mimpi buruk apa yang bisa dilakukan tiga orang anak terhadap seorang ibu? Semuanya dijawab dengan amat manis dengan gaya sinematik berkelas dalam Tully. Tully digarap oleh Jason Reitman, yang kita kenal melalui film drama berkelasnya, yakni Juno dan Up in the Air. Tully yang bertema drama keluarga kembali mengukuhkan Jason sebagai sineas muda yang tak bisa dipandang sebelah mata. Tully dibintangi oleh aktris senior papan atas, Charlize Theron didukung Mckenzie Davis, Mark Duplass, dan Ron Livingston. Theron sendiri juga pernah bermain dalam film sang sineas yang berjudul Young Adult (2011).

     Berkisah tentang Marlo, seorang ibu muda yang memiliki 2 anak, dan kini tengah diambang kelahiran anak ketiganya. Marlo adalah satu skenario terburuk seorang ibu muda. Suaminya yang sibuk, Jason (putranya) memiliki kelainan mental yang selalu rewel, sementara ia harus mengerjakan semua pekerjaan rutin rumah, termasuk mengantar putra-putrinya ke sekolah. Setelah putrinya barunya lahir, kehidupan Marlo berubah drastis, dan dibawah tekanan fisik dan mental yang luar biasa, ia mendapat pertolongan dari seorang pengasuh malam bernama Tully.

     Sejak shot pembuka, telah tampak bahwa film ini bakal dikemas unik. Dengan gaya sinematografi melalui komposisi unik serta handheld, kisah awalnya berjalan sedikit membosankan, berlalu datar tanpa konflik berarti. Kita tahu apa yang terjadi, ibu muda ini kewalahan menghadapi tekanan kesehariannya, terutama Jason. Marlo dan suaminya tak sanggup keluar dari lubang jarum karena kondisi ekonomi mereka. Bantuan dari sang kakak, ia tepis karena Marlo merasa bisa mandiri. Momen perubahan alur plot mulai terjadi sejak Mia (anak ketiga) lahir, tempo kisah berlalu cepat, dan satu teknis montage panjang yang sangat menakjubkan menggambarkan betapa keseharian Marlo begitu melelahkan lahir dan batin. Akhirnya, sang pengasuh malam pun datang. Alur plot mendadak berubah drastis, bahkan kita pun bisa merasakan seperti Marlo, satu kelegaan yang amat luar biasa.

Baca Juga  Hunger

     Menjelang malam, Tully selalu kita nantikan karena sosoknya yang membuat segalanya menjadi seimbang. Fokus cerita sejak awal memang hanya terfokus pada Marlo seorang dan sosok Tully begitu brilian disisipkan dalam kehidupan sang ibu. Walau trik cerita macam ini tak lagi baru dan mengejutkan, namun pendekatan psikologis dan kejiwaan terhadap sang ibu dengan visualisasi macam ini sungguh amat pas berpadu dengan kisahnya. Penonton perempuan, terlebih ibu muda, pasti akan bisa memahami film ini jauh lebih baik. Seperti mengutip lirik lagu You Only Live Twice (James Bond) yang diaransemen ulang dengan amat manis dalam satu montage, “.. satu kehidupan untukmu sendiri dan satu untuk mimpimu”. Terakhir, semua pencapaian mengesankan ini terjadi karena penampilan dua bintangnya, Theron dan Mckenzie, yang bermain sangat baik menjadi “one mom show”, sekaligus menjadi jiwa filmnya. Bagi saya, Theron layak untuk mendapat Piala Oscar untuk filmnya ini.

     Walau konsepnya tak bisa dibilang segar, Tully merupakan film drama komedi unik melalui pendekatan sisi psikologis karakter sang ibu untuk menyampaikan pesan keluarga yang amat kuat. Tak banyak film drama keluarga yang berkualitas dan menyentuh dengan sosok utama adalah sang ibu. Tully tidak hanya menjadi simbol “mimpi buruk” para perempuan dan calon ibu muda, namun juga sisi manusiawi seorang ibu yang memiliki keterbatasan dan membutuhkan dukungan dari seluruh keluarga. Tully adalah sebuah tontonan keluarga yang hangat, menghibur, menginspirasi, serta mengingatkan kita akan arti penting sebuah keluarga.

WATCH THE TRAILER

PENILAIAN KAMI
Overall
80 %
Artikel SebelumnyaGonjiam: Haunted Asylum
Artikel BerikutnyaSekuel Top Gun Tengah Diproduksi
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.