Twilight (2008)

122 min|Drama, Fantasy, Romance|21 Nov 2008
5.3Rating: 5.3 / 10 from 491,710 usersMetascore: 56
When Bella Swan moves to a small town in the Pacific Northwest, she falls in love with Edward Cullen, a mysterious classmate who reveals himself to be a 108-year-old vampire.

Twilight (2008) merupakan film roman-fantasi yang diadaptasi dari seri pertama novel remaja laris berjudul sama karya Stephenie Meyer. Film produksi studio Summit Entertainment ini diarahkan pula oleh sineas wanita, yakni Catherine Hedwick. Twilight tidak menampilkan bintang-bintang besar namun aktor-aktris muda seperti, Kristin Stewart, Robert Pattinson, serta Peter Facinelli. Film berbujet $37 juta ini hanya dalam dua minggu rilisnya di Amerika Utara saja telah meraih pendapatan diatas $100 juta. Dua sekuelnya telah menanti di depan mata.

Bella Swan (Stewart) adalah seorang gadis remaja mandiri yang pindah dari kota Phoenix ke kota kecil Fork, di wilayah Amerika Utara untuk tinggal bersama ayahnya. Di tempat barunya, Bella masuk ke sebuah SMU lokal dan mendapat rekan-rekan baru disana. Bella yang berparas cantik menarik perhatian para pemuda di sekolahnya untuk mendekatinya namun justru seorang pemuda aneh berkulit pucat bernama Edward Cullen (Pattinson) menarik perhatiannya. Suatu ketika Bella hampir saja tewas ketika sebuah mobil nyaris menabraknya jika Edward tidak segera menolongnya. Bella tidak mempercayai kejadian tersebut karena posisi Edward saat itu sangat jauh darinya dan sang pemuda bahkan mampu menghentikan mobil tersebut hanya dengan satu tangannya. Namun, ketika Bella menyinggung hal tesebut, Edward selalu menyangkalnya. Semenjak itu hubungan mereka terlihat semakin dekat, hingga suatu ketika Bella mengetahui jika ternyata Edward adalah seorang vampir.

Tidak seperti film roman remaja sejenis, tempo plot film ini cenderung lambat. Sineas terlihat sabar (tidak tergesa-gesa) dalam membangun adegan demi adegannya. Hubungan yang terjalin antara Bella dan Edward terbangun dengan cukup manis tanpa terlihat dipaksakan. Sejak awal hingga separuh durasi film, fokus cerita semakin menyempit ke hubungan asmara antara Bella dan Edward, karakter-karakter di sekitar mereka pun lambat laun mulai ditinggalkan. Namun menariknya, setelah separuh durasi akhir, fokus cerita kembali meluas dengan tempo plot yang semakin cepat terutama setelah muncul konflik dengan kelompok vampir lain. Secara umum tak ada kelemahan dari sisi plotnya, hanya dalam beberapa adegan dirasa agak bertele-tele, serta masih kurangnya penjelasan mengenai beberapa hal. Seperti pada adegan di hutan ketika Edward menunjukkan jati dirinya, adegan cenderung berlama-lama dengan menggunakan dialog-dialog yang isinya kurang lebih sama. Pada segmen akhir tidak dijelaskan dengan tegas, mengapa James harus memburu Bella dengan membabi-buta.

Satu aspek menonjol yang begitu kuat mendukung ceritanya adalah setting kota Fork yang sempurna. Hampir sepanjang film, suasana kota kecil tersebut selalu terlihat mendung, sering turun hujan, berkabut, dan jarang sekali dalam kondisi cerah. Sekalipun nuansanya cenderung suram dan gelap namun anehnya suasana mencekam tidak pernah kita rasakan. Sebagai film produksi studio kecil tampak sekali efek visual yang digunakan sangat konvensional (mungkin untuk menekan bujet). Para vampir yang diperlihatkan memiliki gerakan sangat cepat serta mampu melompat tinggi, tampak sekali menggunakan trik-trik sederhana, yakni penggunaan tali/kabel serta trik kamera. Seperti dalam satu adegan ketika Edward berlari sambil menggendong Bella di hutan tampak sekali jika trik ini digunakan (sekalipun kabelnya tidak tampak). Pada adegan permainan bisbol di tengah hutan dalam suasana mendung yang diiringi suara geledek, jika saja digunakan efek visual yang lebih baik, hasilnya mungkin lebih mengesankan.

Baca Juga  The Wages of Fear

Satu hal lagi yang menarik adalah para pemainnya sendiri yang bukan pemain besar. Bisa jadi ini memang kebijakan studio untuk menekan bujet namun nyatanya bintang-bintang muda ini mampu bermain dengan baik. Stewart terlihat begitu pas memerankan sosok Bela sebagai gadis remaja yang mandiri, cuek, cerdas, serta sedikit tomboy. Pattinson (entah bisa jadi karena aktingnya yang masih canggung) juga sangat baik berperan sebagai Edward yang agak canggung jika berhadapan dengan Bela. Karakter lain yang menarik perhatian adalah Carlisle yang diperankan oleh Peter Facinelli. Carlisle menjadi father figure di keluarga Cullen merupakan sosok yang hangat, bertutur kata halus, dan tidak suka konflik diperankan dengan sangat baik oleh Facinelli. Sosok Facinelli sendiri banyak mengingatkan pada Tom Cruise ketika bermain sebagai vampir dalam Interview with the Vampire.

Sementara beberapa hal yang mengganjal adalah konsep vampir dalam film ini. Vampir lazimnya digambarkan sebagai makhluk penghisap darah yang tidak tahan (terbakar) sinar matahari namun dalam film ini vampir justru berkilau (bersinar) jika terkena sinar matahari. Dalam filmnya juga tidak sekalipun diperlihatkan gigi taring yang digunakan para vampir untuk menghisap darah korbannya. Vampir juga dikisahkan tidak takut pada cermin dan masih tampak refleksinya pada cermin atau air. Aneh rasanya kita melihat satu keluarga vampir yang ramah dengan suasana rumah tinggal yang hangat. Entah konsep vampir mana yang dipakai penulisnya, sekalipun agak janggal namun rasanya bukan masalah. Vampir bisa saja menjadi simbol sifat binatang (nafsu) dalam diri manusia. Ketika bercumbu mesra dengan Bela, mendadak Edward menjauhkan dirinya dan berkata, “aku tidak ingin binatang dalam diriku muncul (menyakiti Bela)”. Twilight secara sederhana hanya merupakan kisah cinta sejati antara dua insan yang berbeda. Di akhir kisahnya, Bella rela menjadi vampir untuk bisa hidup selamanya bersama kekasihnya. Ketika Edward akan menggigitnya (pikir Bella) ternyata ia hanya mencium lehernya, dan berkata, “Tidak cukupkah bagimu untuk bisa hidup bahagia lama bersamaku?”. Cinta sejati… sesuatu yang langka di jaman sekarang. Twilight merupakan tontonan yang sangat pas untuk para remaja masa kini di tengah nilai-nilai moral yang semakin kabur.

WATCH TRAILER

PENILAIAN KAMI
Overall
80 %
Artikel SebelumnyaKetidakberdayaan Wanita dalam Perempuan Punya Cerita
Artikel BerikutnyaCatatan Laskar Pelangi
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.