Saat seorang pesulap kehilangan semangat dan keyakinan terhadap trik-trik sulap serta karir, kisahnya bergulir dalam “kotak” film Abracadabra. Film kerja sama antara Fourcoulours Films dengan Hooq, dan empat rumah produksi lain (Ideosource Entertainment, Aurora Media, WOA Entertainment, serta Focused Equipment) ini diarahkan, sekaligus ditulis sendiri skenarionya oleh Faozal Rizal. Sineas yang lebih ajek malang-melintang sebagai sinematografer, alih-alih sutradara atau penulis skenario. Film bergenre drama komedi ini dibintangi oleh Reza Rahadian, Butet Kertaradjasa, Salvita Decorte, Dewi Irawan, Egy Fedly, dan Jajang C. Noer. Mengingat catatan film-film garapan sineas ini, mungkinkah ada daya tawar lain di luar aspek sinematografi?
Tanpa keyakinan terhadap karir dan trik-trik sulap, Lukman (Reza Rahadian), seorang Grand Master sulap dengan pencapaian karir yang sudah tak diragukan, mengalami kegagalan di salah satu aksi karena sebuah kotak peninggalan sang ayah, mantan Grand Master yang telah menghilang. Ia tidak mampu mengembalikan orang-orang yang telah menghilang dalam kotak sulapnya. Peristiwa ini pun melahirkan fakta baru mengenai latar belakang ayahnya dan kotak sulap tersebut. Seturut dengan banyaknya peristiwa orang hilang dalam kotak itu, Lukman bertemu dengan Kepala Polisi setempat (Butet Kertaradjasa), teman satu guru sang ayah, Barnas (Egy Fedly), dan seorang wanita mantan asisten ayahnya, Sofnila (Salvita Decorte). Mereka adalah orang-orang yang punya keterkaitan dengan kotak tersebut, dan ikut mengejar “jawaban” tentang cara mengembalikan orang-orang yang dihilangkan oleh kotak sulap.
Entah apa yang coba ditawarkan oleh Abracadabra, selain dari segi artistik (properti, warna, tata rias dan busananya), gambar-gambar indah lanskap panorama alam, dan beragam macam efek suara yang keluar-masuk nyaris setiap waktu. Kendati memang peletakan ketiga aspek ini tak pernah sembarangan adanya, bahkan cenderung saling mendukung dan memiliki fungsi masing-masing, tapi film tidak serta-merta tersusun hanya dari segi sinematik belaka. Tidak ada tawaran dari aspek naratif yang dapat dipuji dari film ini.
Dengan tujuan menghadirkan dunia sulap kepada khalayak berkacamata awam, Abracadabra mengemas dirinya melalui sentuhan “imajinatif” pada riasan dan busana para tokoh, serta warna-warna di semua benda dalam film. Gambar-gambar indah lanskap panorama alamnya tercipta tak lain dipengaruhi oleh latar belakang sang sineas yang lebih sering bekerja sebagai sinematografer. Lalu beragam macam efek suara yang –inginnya—difungsikan sebagai penunjang segmen-segmen komedi. Walau ini tidak berhasil sama sekali.
Sebetulnya, inti cerita dari Abacadabra sangat sederhana dan begitu ringan untuk dicerna, meski sulit ditebak karena perjalanan tokoh utama yang diputar-putar. Walau memang pemutaran perjalanan tokoh utama ini tak lain merupakan strategi untuk merespons inti atau ide cerita yang sederhana, agar meminimalisir alur atau jalan ceritanya menjadi sangat mudah terbaca. Namun, tindakan ini bukanlah tanpa risiko sama sekali. Dampaknya sangat jelas terjadi pada dimensi waktu yang –rasanya—”terpaksa dipanjang-panjangkan”, tanpa tensi dramatik dan kekuatan karakteristik tokoh yang signifikan. Walhasil, kebosanan pasti mendarat di bangku penonton. Kecuali bagi yang sangat menggandrungi gambar-gambar indah lanskap panorama alam, kolase warna, tata rias, dan busana yang sedemikian mencolok dan mencuri perhatian, serta ragam efek suara yang dimasukkan.
Senasib dengan kecacatan aspek naratif dalam Abracadabra, hal serupa juga dialami oleh sisi komedinya. Dengan fakta yang seperti ini, genre komedi sepatutnya dipertanyakan pula (selain soal penceritaan). Kaitan genre tersebut dengan apa yang ada dalam film pun menjadi tidak ada. Hanya sekadar komedi slapstick dengan momen yang tiba-tiba muncul dan menghilang, datang dan pergi. Aspek naratif film ini sama sekali tidak bisa dinikmati. Hanya aspek sinematik daya jual Abracadabra.
Memang, tidak mudah menciptakan fantasi dunia baru yang penuh khayal dan imajinasi, apalagi dunia tersebut masih dibuat beririsan dengan dunia realis yang nyata. Namun, alangkah sia-sia jika memaksimalkan daya fantasi tersebut hanya melalui satu aspek (sinematik), tanpa diimbangi dengan baik oleh kualitas naratifnya. Bukankah sebuah film “beratmosfer fantasi” tak melulu hanya soal pengolahan gambar agar tampak lebih imajinatif?
Pantas saja jika Abracadabra memang tampak lebih menonjolkan aspek sinematik (terutama sinematografi), karena sutradara sekaligus pembuat skenarionya adalah seorang sinematografer. Seharusnya lubang ini dapat diperkecil dengan peran dari orang lain untuk turut mengisi bangku penulis skenario, agar aspek naratif Abracadabra tidak separah ini. Namun, rasanya Abradabra terlahir sebagai proyek pribadi sang sineas semata (seperti Koboy Kampus).
Abracadabra seperti film panjang independen atau alternatif yang dikerjakan tanpa pertimbangan matang terhadap pentingnya kesolidan aspek naratif. Ditambah lagi, dengan penyelesaian masalah untuk menutup perjalanan sang tokoh utama yang telah membawa penonton berputar-putar, tidak mengobati apapun. Tidak merasa bertanggung jawab untuk mengganti waktu-waktu penonton yang terbuang percuma sejak dari awal film ini tayang.