Child's Play (2019)
90 min|Drama, Horror, Sci-Fi|21 Jun 2019
5.7Rating: 5.7 / 10 from 55,466 usersMetascore: 48
A mother gives her 13-year-old son a toy doll for his birthday, unaware of its more sinister nature.

Seri Chucky yang populer sejak era 80-an dengan total 7 filmnya hingga serial televisinya, kini di-reboot dengan judul sama, Child’s Play. Film berbujet US$ 10 juta ini diarahkan oleh Lars Klevberg dengan dibintangi oleh Aubrey Plaza, Gabriel Bateman, Brian Tyree, serta Mark Hamill sebagai pengisi suara Chucky. Mampukan reboot-nya ini memberikan sesuatu yang baru untuk serinya?

Alkisah seorang bocah bernama Andy tinggal bersama ibunya yang telah berpisah dengan ayahnya. Suatu ketika, sang ibu memberikan sebuah boneka mainan canggih populer yang bernama Buddi, produksi perusahaan Kaslan. Buddi dimaksudkan tidak hanya sebagai mainan, namun juga mampu mengontrol semua peralatan rumah tangga produksi Kaslan. Tetapi selang beberapa hari, Andy menyadari keanehan pada bonekanya karena banyak melakukan pelanggaran protokoler dari pabriknya.

Untuk serinya, jelas film reboot-nya ini banyak melakukan penyegaran serinya hingga genrenya. Filmnya kini menghilangkan sisi supernatural dan menggantinya dengan unsur fiksi ilmiah. Boneka Chucky yang dulu bisa hidup karena dirasuk oleh seorang dukun penganut ilmu hitam, kini digantikan dengan chipset berteknologi canggih yang membuat sang boneka bisa bergerak dan merespon layaknya manusia. Kita sama-sama tahu, plot robot AI yang lepas kendali dan mengamuk sudah bukan barang baru dalam film. Dengan kombinasi fiksi ilmiah, horor, slasher, Chucky robot ini masih jauh di bawah rata-rata film subgenrenya dan bahkan serinya sendiri. It’s too much.

Satu hal yang paling mengganjal dalam film ini adalah logika kisahnya. Seberapa cerdas sebenarnya boneka ini dan seberapa jauh protokol yang bisa dilanggar? Mengapa pula pabrik mainan anak-anak membuat sebuah produk yang bisa berpotensi membahayakan nyawa manusia? Mampukah sang robot berpikir sedemikan jauh untuk merancang sebuah skema pembunuhan yang begitu rumit? Begitu cerdasnya sang robot hingga ia bisa membuat skenario untuk memojokkan Andy? Sebegitu cepatkah ia bisa bergerak? Semua ini tak bisa terjawab secara pasti dalam kisahnya. Satu hal saja, jika teknologi secanggih ini sudah bisa dicapai, apakah satu pabrikan modern akan membuatnya melalui desain boneka yang seburuk ini? Tidakkah terpikir bentuk robot modern atau mungkin wujud manusia yang lebih realistik. Ya tentu kita sudah tahu jawabnya karena ini adalah seri Chucky. Namun, tidak adakah solusi yang lebih bisa dinalar dan tidak memaksa? Satu hal ini saja, sudah membuat sulit untuk bisa masuk dalam kisahnya. It’s way too much.

Sisi fiksi ilmiah membuat tone filmnya sangat berbeda dengan sebelumnya dengan nuansa mistik kental yang menjadi kekuatan serinya. Ketika dulu Chucky muncul, kita tahu bahwa ada iblis di dalamnya, dan motif mengapa ia mengincar Andy adalah jelas untuk mengambil raganya. Ancaman begitu tegas dan nyata. Kini motifnya jelas berbeda dan keberadaan Chucky tidak lagi terasa menakutkan. Sisi horor hanya mengandalkan jump scare konvensional dengan menambah unsur sadisme dalam aksi-aksinya. Sosok fisik Chucky pun sudah tidak lagi menakutkan seperti dulu sehingga greget sosoknya berkurang.

Baca Juga  Outside the Wire

Child’s Play menghilangkan semua apa yang menjadi keunikan dan jiwa ikon boneka Iblis Chucky melalui transisi genre serta naskah yang absurd. Para pemainnya yang sudah bermain baik, khususnya Aubrey Plaza (sang ibu) dan Gabriel Bateman (Andy), tidak banyak menolong filmnya. Suara Mark Hamill (aktor pemeran Luke Skywalker) sebagai Chucky, jelas tak mampu bersaing dengan suara Brad Dourif yang jauh lebih mengintimidasi dengan tawa khasnya. Franchise ini jelas berlanjut jika film reboot ini sukses komersial, namun setidaknya bagi saya seri ini sudah tamat sejak seri ketiga.

PENILAIAN KAMI
Overall
20 %
Artikel SebelumnyaYesterday
Artikel BerikutnyaSpider-Man: Far from Home
Hobinya menonton film sejak kecil dan mendalami teori dan sejarah film secara otodidak setelah lulus dari studi arsitektur. Ia mulai menulis artikel dan mengulas film sejak tahun 2006. Karena pengalamannya, penulis ditarik menjadi staf pengajar di Akademi Televisi dan Film swasta di Yogyakarta untuk mengajar Sejarah Film, Pengantar Seni Film, dan Teori Film sejak tahun 2003 hingga tahun 2019. Buku film debutnya adalah Memahami Film (2008) yang memilah seni film sebagai naratif dan sinematik. Buku edisi kedua Memahami Film terbit pada tahun 2018. Buku ini menjadi referensi favorit bagi para akademisi film dan komunikasi di seluruh Indonesia. Ia juga terlibat dalam penulisan Buku Kompilasi Buletin Film Montase Vol. 1-3 serta 30 Film Indonesia Terlaris 2012-2018. Ia juga menulis Buku Film Horor: Dari Caligari ke Hereditary (2023) serta Film Horor Indonesia: Bangkit Dari Kubur (2023). Hingga kini, ia masih menulis ulasan film-film terbaru di montasefilm.com dan terlibat dalam semua produksi film di Komunitas Film Montase. Film- film pendek arahannya banyak mendapat apresiasi tinggi di banyak festival, baik lokal maupun internasional. Baru lalu, tulisannya masuk dalam shortlist (15 besar) Kritik Film Terbaik dalam Festival Film Indonesia 2022. Sejak tahun 2022 hingga kini, ia juga menjadi pengajar praktisi untuk Mata Kuliah Kritik Film dan Teori Film di Institut Seni Indonesia Yogyakarta dalam Program Praktisi Mandiri.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.