Doctor Sleep (2019)
152 min|Drama, Fantasy, Horror|08 Nov 2019
7.3Rating: 7.3 / 10 from 226,835 usersMetascore: 59
Years following the events of The Shining (1980), a now-adult Dan Torrance must protect a young girl with similar powers from a cult known as The True Knot, who prey on children with powers to remain immortal.

Setelah nyaris 4 dekade lalu, film horor fenomenal The Shining (1980) karya sineas legendaris Stanley Kubrik dirilis, dan kini penantian panjang telah selesai. Doctor Sleep adalah sekuel dari The Shining yang juga diadaptasi dari novel berjudul sama karya Stephen King, ditulis tahun 2013. Doctor Sleep diarahkan oleh Mike Flanagan yang kita tahu gemar memproduksi film-film horor serta fantasi, seperti Oculus, Ouija: Origin of Evils, serta Before I Wake. Film ini dibintangi oleh Ewan MCGregor, Rebecca Ferguson, Kyliegh Curran, serta Cliff Curtis. Mampukan Doctor Sleep melewati bayang-bayang film fenomenal aslinya? Jujur, awalnya saya tak berekspektasi banyak, namun ternyata saya salah besar.

Setelah kejadian empat dekade silam yang begitu traumatik, Danny Torrance yang memang memiliki kemampuan supernatural (diistilahkan the shining), kini mencoba berkompromi dengan situasinya untuk hidup normal. Sementara itu, satu kelompok sesat (iblis) yang dipimpin Rose, berkelana mencari anak yang memiliki the shining untuk diserap energinya agar mereka bisa hidup abadi. Satu aksi jahat mereka diketahui oleh Abra, seorang gadis kecil yang memiliki kemampuan supernatural (shining) besar. Abra ingin menghentikan aksi jahat mereka, namun ia tidak bisa sendirian, dan meminta tolong Danny. Danny pun harus kembali berhadapan dengan masa lalunya untuk membantu Abra.

Wuih! Saya nyaris kehilangan kata-kata setelah selesai menonton film ini. Sebagai fans berat Kubrick, film ini mampu membawa kita bernostalgia ke sebuah petualangan sinematik yang amat luar biasa. Baik kisah maupun elemen sinematiknya adalah sebuah penantian panjang yang terpuaskan. Seolah kita menonton film klasik sang maestro yang dihidupkan kembali.

King menulis kisah sekuelnya ini di era keemasan superhero, dan ia pun memasukkan elemen ini ke dalam novelnya. Superhero? Ya, rasa “superhero” begitu kental dalam filmnya, seolah kita menonton Doctor Strange dengan gaya Kubrick. Sungguh ide yang sangat brilian memasukkan elemen cerita kekinian macam ini dan memadukannya dengan kisah aslinya (The Shining), empat dekade silam. Perpaduan kisahnya sama sekali tidak memaksa dan kisah plot besar (The Shining) masih menjadi inti kisah filmnya. Mungkin, bagi sebagian penonton, plot “superhero” ini bakal terlihat terlalu dicari-cari, namun secara personal, saya sangat menyukai dengan apa yang ditawarkan. Idenya sungguh cemerlang. Hanya saja, kelemahan kisah film ini, jika tidak menonton film pertamanya (The Shining) tentu bakal kehilangan “jiwa” dari kisah film ini.

Baca Juga  Premium Rush

Bicara elemen sinematiknya, saya kembali kehilangan kata-kata! Mike Flanagan tahu persis bahwa ia berada di bawah bayang-bayang film aslinya dan tentumya sang maestro. Semua fans Kubrick (khususnya kritikus film) akan melakukan komparasi secara sadar. Sang sineas pun, akhirnya memutuskan untuk menggunakan semua elemen sinematik yang sama (Kubrick) dalam semua detil kisah filmnya. Ia tahu betul Kubrik dan semuanya dalam film ini adalah Kubrick. Baik elemen mise_en_scene (setting), komposisi gambar (simetrik), editing (dissolves), suara, musik adalah tribute dari The Shining. Satu segmen bahkan menggunakan shot yang nyaris sama dengan segmen pembuka film klasiknya.

Hal yang lebih ekstrem pernah dilakukan oleh Gus Vant Sant melalui Psycho (1998). Ia bahkan membuat shot per shot sama persis dengan film aslinya yang digarap Alfred Hitchcock. Sebuah eksperimen yang gagal secara kritik dan komersial, namun memberikan satu pernyataan tegas bahwa terkadang, sebuah film memang tidak perlu di-remake karena film aslinya adalah sebuah karya seni sempurna. Mike Flanagan kini mampu menjawabnya dengan cara yang sangat berkelas. Dengan dukungan talenta sang sineas dan para pemainnya, Doctor Sleep adalah film pemuas dahaga bagi penggemar berat Stanley Kubrick melalui segala tribute sinematiknya serta kombinasi brilian kisah klasik dan kekinian.

Satu hal yang sangat menyedihkan, pada hari rilis film ini (6 November 2019), kami juga harus kehilangan mentor dan senior kami, Pak Hartanto, yang juga adalah fans berat Kubrick dan beliau mengoleksi semua filmnya. Beliau pasti akan menyukai film ini. Saya dedikasikan tulisan ini untuk beliau. Selamat jalan Mas Tanto! Semoga mendapat tempat terbaik di sisi-Nya dan titip salam untuk sang maestro.

 

PENILAIAN KAMI
Overall
100 %
Artikel SebelumnyaRetrospeksi Film Pendek Montase: Nyumbang
Artikel BerikutnyaRatu Ilmu Hitam
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.