Apa jadinya saat momen sekarat menjelang ajal menjemput, seseorang memperoleh kesempatan kembali ke masa lalu untuk menjawab pertanyaan-pertanyaannya tentang hidupnya? Hal ini yang diupayakan oleh Danial Rifki dalam mengarahkan Rembulan Tenggelam di Wajahmu, bersama Titien Wattimena sebagai penulisnya. Film yang merupakan adaptasi dari salah satu novel karya Tere Liye berjudul sama ini memiliki genre drama aksi kriminal dan fantasi. Diproduksi oleh Max Pictures, film ini dibintangi Arifin Putra, Bio-One, Cornelio Sunny, Donny Alamsyah, Ariyo Wahab, Egy Fedly, dan Yudha Keling.
Menghadirkan kisah rangkuman perjalanan hidup seorang pemilik perusahaan raksasa, Rey (Arifin Putra/Bio-One) hingga masa-masa sekaratnya menjelang bertemu ajal. Rey yang ditemui oleh seorang pria asing (Cornelio Sunny) di alam bawah sadar, diajak untuk melampaui dimensi waktu, agar ia mengingat kembali titik-titik penting yang mengubah hidupnya. Perjalanan memutar kembali ke masa lampau ini pun ditujukan untuk menjawab lima pertanyaan besar Rey, terhadap kehidupan, keadilan, nasib, tujuan, fungsi, relasi, dan masih banyak lagi. Ia mesti mengingat kembali dari mana ia berasal, siapa yang membesarkan serta menganggapnya memiliki arti penting.
Terdapat beberapa hal dari Rembulan Tenggelam di Wajahmu yang patut diacungi jempol ketika harus menghadirkan dimensi lain mengenai kehidupan seseorang jauh ke belakang. Film ini merangkai drama kehidupan keluarga panti asuhan dan rumah singgah, hubungan persahabatan, tindak kriminal hingga tembak-menembak, aksi bela diri, serta sedikit musikal, dan memadatkan semuanya ke dalam tayangan berdurasi satu setengah jam.
Berbicara mengenai aspek naratif dari alur cerita serta plot, tidak ada masalah. Bahkan cenderung berani dan menarik. Terlepas dari bagaimanapun alur cerita dan teknis penceritaan dalam novel sumbernya, Rembulan Tenggelam di Wajahmu memicu banyak perenungan dengan segmen kilas balik yang saling tumpang tindih. Segmen kilas balik inilah yang kemudian banyak menceritakan sisi kelam dan awal perjalanan pencarian makna kehidupan bagi Ray.
Begitu pula pencapaian atau apa yang dilakukan dengan sisi sinematiknya. Penonton bisa menikmati atmosfer dan suasana ala kilasan menjelang kematian nyaris di sepanjang film ini berjalan. Mulai dengan melemparkan Ray memasuki ingatan masa lalu, melibatkannya dalam persoalan kriminal pencurian besar, penembakan, aksi-aksi fisik lainnya, segmen musikal, serta kombinasi cahaya dan warna-warna gelap yang digunakan untuk menggambarkan masa lalu kelam Ray. Tak dapat dipungkiri, dorongan dari aspek sinematik ini begitu besar dan dominan untuk menunjang pencapaian film ini. Tapi sangat disayangkan, terdapat satu unsur yang tak kalah besar justru memiliki kecacatan dalam aspek ini, yakni akting.
Sangat sulit untuk masuk ke dalam karakteristik dan personal para tokohnya, terutama tokoh utama, Ray, termasuk merasakan dinamika emosinya. Salah satu penyebab adalah pendalaman karakter dan kualitas akting. Kendati memang, bisa ditambal oleh variasi teknis dari aspek sinematik. Tapi tindakan ini hanya akan melahirkan kebohongan serta tipuan semata bagi penonton. Sebab kedalaman dan kedekatan penonton terhadap emosi para tokoh dalam sebuah film, ditentukan oleh kualitas akting pemainnya. Itu yang semestinya menjadi tolok ukur utama.
Film drama semestinya tidak ditonton dengan hanya mengacu pada aspek-aspek di luar akting sama sekali. Kendatipun sebuah film digarap dengan gambar-gambar, artistik, dan pencahayaan menakjubkan serta teknis penceritaan memukau, tentu saja persoalan kematangan kualitas akting yang mumpuni dari para pemain sangat memengaruhi pencapaian atas tensi dramatik sebuah film drama. Tanpanya, penonton tidak akan bisa memasuki kedalaman emosi para tokoh yang terlibat. Sayangnya hal ini tidak diperhatikan betul-betul bahkan dianggap penting oleh film ini.
Durasi sepanjang 93 menit tidak mampu dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk melakukan eksplorasi karakter, atau setidaknya, mendekatkan penonton terhadap personal para tokoh yang terlibat. Ray sendiri dalam peran masa kecil dan dewasanya pun masih kurang kuat dan maksimal.
Kendati Rembulan Tenggelam di Wajahmu merupakan adaptasi dari sebuah novel, namun sulit untuk turut serta berempati dengan tokoh utamanya karena kualitas akting yang buruk. Medium film sedemikian memudahkan imajinasi seseorang untuk melihat wujud fisik dari penggambaran tokoh novel secara langsung. Hal yang sepatutnya dipertanyakan kemudian adalah apakah sang sineas tidak memperhatikan dengan jeli kualitas akting para pemainnya? Apakah mereka kurang mampu merasakan dengan baik karakteristik dan personal dari setiap tokoh yang terlibat sehingga kemungkinan akting kurang maksimal? Dengan pencapaian Rembulan Tenggelam di Wajahmu bagian pertama yang sudah seperti ini, akankah bagian keduanya mampu memperbaiki kecacatan yang sudah kadung terjadi ini?