Divisi Hubungan Masyarakat (Humas) Mabes Polri tak henti-hentinya memproduksi film-film dengan konten sarat daya jual nama baik dalam tubuh korps kepolisian. Setelah film Pohon Terkenal dengan genre dramanya, Hanya Manusia berangkat dengan genre aksi. Film ini disutradarai oleh Tepan Kobain, dengan naskah ditulis oleh Rebecca M. Bath, Putri Hermansjah, dan Monty Tiwa (sebelumnya juga merupakan penulis Pohon Terkenal, Pocong The Origin, Mahasiswi Baru, Critical Eleven, Sabtu Bersama Bapak). Dengan rekam jejak salah seorang penulisnya, film ini pun merupakan debut Tepan Kobain sebagai sutradara, setelah sebelum-sebelumnya menjadi penata artistik dalam film Matt & Mou, Pocong The Origin, Mahasiswi Baru, Reuni Z, dan 3 Dara 2. Bintang yang bermain dalam film ini, yakni Prisia Nasution, Lian Firman, Yama Carlos, Shenina Cinnamon, Verdi Solaiman, Tegar Satrya, dan Fuad Idris.
Berkisah mengenai perjalanan karir seorang perwira muda, Anisa Saraswati (Prisia Nasution) sejak dipindahtugaskan ke dalam satuan khusus Reskrim Polisi yang tengah fokus menangani kasus penculikan anak di bawah umur. Nisa harus membagi waktunya dengan baik antara loyalitas dan dedikasinya sebagai polisi sekaligus menjadi adik bagi Dinda (Shenina Cinnamon). Belum sempat Nisa terbiasa dengan ritme kerja dan atmosfer baru, ia mesti berhadapan dengan serangkaian kesulitan dan masalah serius dalam upaya pengungkapan kasusnya yang membahayakan nyawa adik dan rekan kerjanya, Aryo (Lian Firman).
Dominasi penggunaan musik latar yang cenderung mengarahkan film pada suasana gangster, mafia, misterius, dan penuh teka-teki, justru mengurangi segmen dramanya. Tensi dramatik dari benturan dua masalah dalam diri Nisa, konflik pribadi yang tertampung, ditambah kekacauan dari kasus yang ditanganinya, menjadi tidak tersampaikan secara maksimal. Hal ini sudah sangat terasa sejak trailer-nya. Selain itu, intensitas aksinya pun alih-alih memicu ketegangan penonton, justru terasa menyebalkan karena teknis eksekusi bela diri yang “sengaja” diperlambat.

Beberapa aspek yang harus digarisbawahi adalah keberadaan konten-konten yang sebenarnya tidak perlu untuk masuk ke dalam plot filmnya. Namun, mengingat latar belakang yang berangkat dari divisi “Humas” Polri, tentu saja memaksimalkan framing dari film ini agar menunjukkan kegagahan sejumlah satuan pasukan menjadi mutlak adanya. Kendati ini berujung pada serangkaian keganjilan. Seperti, keberadaan satu-dua pasukan dengan fungsi dan tujuan yang terlalu “dipaksakan” keberadaanya di sebuah tempat (jika tidak ingin dikatakan tak berfungsi). Padahal, jika memang bertujuan untuk memaksimalkan bentuk kerja sejumlah kesatuan, masih ada cara lain agar lebih masuk akal agar tidak akan berakhir tanggung.
Pada aspek lain, Hanya Manusia cukup nyaman dinikmati dari segi sinematografinya. Gambar-gambar dinamis dengan sudut pengambilan beragam dimanfaatkan dengan baik untuk membangun nuansa misteri, teka-teki, gangster, dan tentu saja aksi. Pada bagian awal, pemanfaatan ini menjadi pemicu agar film ini menjadi semakin menarik untuk diikuti. Namun, setelah sedemikian nikmat, rupanya hanya sekejab saja film ini memberi “kejutan” dengan segmen aksi yang begitu hiperbolis “tapi” malah menggelikan pada akhir filmnnya.
Rasanya Hanya Manusia perlu lebih banyak belajar lagi mengenai eksekusi seni bela diri (martial arts) dalam berbagai kondisi (bersenjata maupun tangan kosong), terutama para pemainnya. Aksi dan gerak bela diri terasa lambat di awal, serta terlalu terbuka dan blak-blakan di akhir. Bahkan untuk orang-orang setingkat kesatuan pasukan khusus yang menyergap komplotan gangster atau mafia kelas kakap, penyergapan dilakukan secara langsung di lapangan terbuka. Walau komparasinya berlebihan, The Raid melakukan pekerjaan ini lebih baik, padahal lokasi yang digunakan lebih sempit. Hanya Manusia sebenarnya memiliki banyak lokasi bagus di pelabuhan dengan tumpukan kontainernya tapi alih-alih dimanfaatkan secara maksimal, justru memilih berhadapan langsung di lapangan terbuka. Tentu saja ini adalah untuk menunjukkan aksi dari kesatuan khusus tersebut. Tapi, ini sungguh menggelikan. Sangat bertolakbelakang dengan latar belakang sang sineas yang berangkat dari peran penata artistik.





