Film horor produksi rumah produksi Open Door Films ini disutradarai oleh Erwin Arnada yang sebelumnya menyutradarai Rumah di Seribu Ombak (2012), Guru Ngaji (2018), Nini Thowok (2018) dan Tusuk Jelangkung (2018). Sebelumnya, ia telah berkecimpung di ranah horor, menjadi produser dan penulis naskah, Tusuk Jelangkung (2002) dan Jelangkung 3 (2007). Kini, film terbarunya, Kelam dibintangi Aura Kasih, Amanda Manopo, Rina Hassim, dan aktris cilik Gisselle Tambunan.

Filmnya bercerita tentang seorang ibu bernama Nina (Aura Kasih) dan putrinya, Sasha (Gisselle Tambunan). Suatu ketika, Nina mendapat kabar ibunya tengah sakit. Bersama putrinya, ia mengunjungi sang ibu, Dewi (Rina Hassim) yang menderita stroke. Nina sendiri memiliki hubungan yang kurang baik dengan sang Ibu. Kembalinya Nina, diikuti banyak keanehan, terlebih Sasha yang mendapatkan teror. Sementara Feny (Amanda Manopo), adik Nina, berusaha mencari tahu masalah antara kakak dan ibunya.

Plotnya bertempo sangat lambat. Hampir sepanjang film, konflik yang dibangun pun juga begitu datar sehingga kisahnya terasa hambar. Kisahnya kurang memiliki ruh yang mampu membuat penontonnya bisa masuk dalam cerita. Menilik dua film horor garapan sang sineas sebelumnya, Nini Thowok dan Tusuk Jelangkung, tone filmnya nyaris sama, yakni lambat, datar dan kurangnya kedalaman konflik cerita yang menyebabkan intensitas dramatik yang tak kunjung meningkat. Kisah drama yang dikemas pun juga kurang menyentuh.

Konflik di awal cerita juga tampak sekali dipaksakan. Contohlah, Sasha yang tiba-tiba mengalami gangguan jantung dan harus ditangani secara serius. Tak ada penjelasan sama sekali mengapa Sasha bisa mengalami hal demikian, entah melalui aksi maupun dialog. Demikian pula trik horornya. Jump scare yang dibangun terkadang justru terlihat lucu dan menggelikan, tak mampu meneror penonton.

Baca Juga  Orang Kaya Baru

Harus diakui, secara teknis, Kelam memang lebih mapan daripada dua film sang sineas sebelumnya. Dari sisi pemain, salah satu yang menarik perhatian adalah permainan akting aktris cilik Gisselle Tambunan yang mampu bermain natural. Sang sineas mencoba membatasi setting, namun seperti kebanyakan film horor kita lainnya, tak juga mampu memaksimalkan potensi setting untuk mengeksplor cerita lebih menarik. Sayang, dengan kualitas teknis mumpuni di banyak sisi, namun cerita yang dikemas, kurang menarik.

Film-film horor kita seperti tak ada kebaruan. Persoalan naskah menjadi persoalan utama yang membuat kualitas film secara keseluruhan menjadi kurang baik. Secara reguler tiap minggu, film horor selalu muncul di bioskop, tapi tak banyak yang mampu membuat terobosan, baik cerita maupun estetik. Kesamaan formula cerita dan konflik yang itu-itu saja, tentu membuat penonton jenuh. Dari sisi teknis, film horor kita sudah terbilang mapan, namun tanpa cerita yang kuat dan unik, maka film horor kita selalu akan terbelenggu bayangan industri yang hanya mengejar persoalan komersial semata.

https://www.youtube.com/watch?v=S5Qchx0lYx8

PENILAIAN KAMI
Overall
40 %
Artikel SebelumnyaSUSI SUSANTI: LOVE ALL
Artikel BerikutnyaTerminator: Dark Fate
Agustinus Dwi Nugroho lahir di Temanggung pada 27 Agustus 1990. Ia menempuh pendidikan Program Studi Film sejak tahun 2008 di sebuah akademi komunikasi di Yogyakarta. Di sinilah, ia mulai mengenal lebih dalam soal film, baik dari sisi kajian maupun produksi. Semasa kuliah aktif dalam produksi film pendek baik dokumenter maupun fiksi. Ia juga lulus dengan predikat cum laude serta menjadi lulusan terbaik. Ia mulai masuk Komunitas Film Montase pada tahun 2008, yang kala itu masih fokus pada bidang apresiasi film melalui Buletin Montase, yang saat ini telah berganti menjadi website montasefilm.com. Sejak saat itu, ia mulai aktif menulis ulasan dan artikel film hingga kini. Setelah lulus, ia melanjutkan program sarjana di Jurusan Ilmu Komunikasi di salah satu perguruan tinggi swasta di Jogja. Penelitian tugas akhirnya mengambil tema tentang Sinema Neorealisme dan membandingkan film produksi lokal yang bertema sejenis. Tahun 2017, Ia menyelesaikan studi magisternya di Program Pascasarjana Jurusan Pengkajian Seni di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta dengan minat utama film. Penelitian tesisnya terkait dengan kajian narasi dan plot sebuah film. Saat ini, ia tercatat sebagai salah satu staf pengajar di Program Studi Film dan Televisi, ISI Yogyakarta mengampu mata kuliah teori, sejarah, serta kajian film. Ia juga aktif memberikan pelatihan, kuliah umum, seminar di beberapa kampus, serta menjadi pemakalah dalam konferensi Internasional. Biodata lengkap bisa dilihat dalam situs montase.org. Prestasi besar terakhirnya adalah menjadi nominator Festival Film Indonesia 2021 untuk kategori Kritikus Film Terbaik melalui artikel "Asih, Cermin Horor Indonesia Kontemporer" bersama rekan penulisnya, Miftachul Arifin.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.