Uniknya, film horor Lampor Keranda Terbang disutradarai oleh Guntur Soeharjanto, sineas yang lebih sering memproduksi film komedi romantis, seperti Otomatis Romantis (2008), Crazy Love (2013), Pinky Promise (2016), dan Belok Kanan Barcelona (2018). Lampor Keranda Terbang adalah genre horor pertamanya. Kisah filmnya terinspirasi dari kisah nyata yang berasal di daerah Temanggung, di Jawa Tengah.
Kisahnya berlatar tahun 1993 di sebuah desa di Temanggung. Dibuka dengan sebuah adegan di mana Netta kecil tengah menjaga adiknya yang masih bayi. Lalu datanglah sosok hantu Lampor yang membawa adiknya. Hal ini menjadi trauma tersendiri bagi Netta. Sang Ibu menganggap, sang suami yang menganut ilmu hitam menjadi penyebabnya. Ibunya dan Netta memutuskan untuk pergi dari kampung tersebut dan menetap di Medan. Beberapa puluh tahun setelahnya, Netta kini (Adinia Wirasti) telah memiliki suami dan dua orang anak. Suatu ketika, sang Ibu meninggal dan menitipkan pesan untuk suaminya. Netta beserta suami dan dua anaknya, akhirnya berangkat ke Temanggung untuk bertemu ayahnya, walau harus dibayangi trauma masa lalunya.
Sosok hantu Lampor memang baru terdengar di belantara kisah horor tanah air. Kita lebih banyak mengenal sosok-sosok hantu populer yang sering muncul di bioskop Indonesia, yakni kuntilanak, jelangkung, dan pocong. Sosoknya segar sebagai hantu lokal yang belum banyak diketahui orang dan belum pernah dibuat film. Lampor sendiri merupakan urban legend di daerah Jawa Tengah, khususnya wilayah Temanggung dan sekitarnya. Saya sendiri berasal dari Temanggung dan sewaktu kecil, kisah ini sangat melegenda. Konon lampor suka menculik orang di malam hari. Anak-anak pun dilarang keluar larut malam, agar tak diambil Lampor. Lalu bagaimana dengan filmnya?
Dari background cerita yang dituturkan, kisah misteri tak mampu tergambar sepenuhnya melalui plotnya. Misteri yang dibangun berkutat pada konflik filmnya yang cenderung tak fokus. Tak fokusnya konflik cerita terlihat dari banyaknya kompleksitas aksi para tokohnya serta banyaknya informasi yang diberikan kepada penonton. Sisi drama yang ingin dibangun pun tak sampai ke penonton. Intensitas ketegangan yang dibangun pun juga terlalu umum seperti film horor kita kebanyakan yang lebih mementingkan kemunculan sosok hantunya. Jika saja sang sineas mampu menahan lebih lama menyembunyikan sosok hantunya, sepertinya plot misteri akan terbangun lebih kuat.
Satu hal yang menarik terlihat pada closing credit filmnya. Pada bagian inilah yang menurut saya paling menakutkan. Sang sineas menyuguhkan wawancara langsung para korban yang berhasil kembali setelah dibawa lampor serta keluarga korban yang diduga diambil lampor. Dengan teknik dokumenter, sang sineas mewawancarai beberapa warga asli dari berbagai desa di Temanggung, Lalu teks di akhir film yang mendeskripsikan Lampor, rasanya lebih pas diletakkan di segmen awal sebelum judul. Hal ini tentu efektif memberikan informasi tentang siapa sosok hantu lampor ini, mengingat belum banyak masyarakat yang tahu kisah urban legend ini dan tentu membuat rasa penasaran penonton.
Dengan mengambil setting di Temanggung, tempat mitos lampor berasal, memang membawa nuansa tersendiri. Kita bisa melihat suasana pemukiman khas di daerah lereng Gunung Sumbing yang jauh dari perkotaan. Sayang, potensi setting ini tidak diimbangi kualitas ceritanya. Sang sineas tak sepenuhnya mampu membawa setting-nya untuk mendukung mood horor. Suasana kampung tampak kurang mencekam. Jika intimidasi Lampor pada warga diperbanyak, rasanya bisa memaksimalkan mood filmnya. Film horor lokal dengan sosok hantu yang fresh macam ini memang patut diapresiasi lebih, namun tentunya dengan sisi drama, misteri, serta ketegangan yang lebih kuat.