Tak heran jika Maleficent (2014) dengan sukses komersial lebih dari USD 750 juta akhirnya diproduksi pula sekuelnya. Bertajuk Maleficent: Mistress of Evil, sekuelnya kini diarahkan oleh Joachim Ronning dengan kembali menampilkan sang bintang, Angelina Jolie, yang kini duduk di kursi produser. Beberapa pemain masih mengulang peran mereka, yakni Elle Fanning dan Sam Riley, serta para bintang pendatang baru, seperti Chiwetel Ejiofor, Michelle Pfeiffer, serta Ed Skrein. Mampukah sekuelnya kini menyamai sukses film pertamanya?
Alkisah setelah peristiwa 5 tahun lalu, Maleficent dan Aurora kini hidup bahagia di istana mereka, Moors. Pangeran Phillip akhirnya melamar Aurora sekalipun Maleficent tak menyukai jika mereka menikah. Aurora pun akhirnya mampu membujuk Maleficent untuk datang ke istana Raja John dan Ratu Ingrith yang juga orang tua Phillip. Tak disangka, Maleficent pun dijebak hingga Aurora memilih tinggal di sana. Dalam situasi tak terkendali, Maleficent pun terbang keluar istana, namun sayangnya ia dilukai anak panah hingga jatuh ke lautan lepas. Sosok misterius pun menolong Maleficent.
Apa yang menjadi kekuatan seri pertamanya kini telah hilang, yakni kehangatan. Selalu menjadi kisah yang menarik, melihat sosok jahat berubah menjadi baik. Maleficent adalah sosok yang ideal untuk menyajikan ini, terlebih diperankan sangat baik oleh Jolie. Maleficent pun menjadi sosok dewi yang memiliki hati. Lalu apa lagi yang bisa ditawarkan kisahnya? Sang narator menjelaskan, hanya berselisih lima tahun saja, citra iblis Maleficent kembali muncul dalam benak kaum manusia. Mudah sekali diduga, “fitnah” menjadi solusi jitu untuk mengubah sosok baik menjadi jahat. Tampak memaksa sekali dan plotnya pun terlalu mudah diantisipasi.
Plotnya pun berjalan datar layaknya formalitas sekuel lazimnya. Penikmat film bakal tak sulit menduga alur kisahnya hingga akhir dan ini tentu melelahkan. Subplot kaum “Dark Feys” yang satu ras dengan Maleficent serta asal muasalnya, tidak juga mampu membuat kisahnya menjadi lebih menarik, kecuali tontonan visualnya (CGI dan setting). Dua aktris brilian sekelas Jolie dan Fanning pun seakan terjebak, tanpa banyak keleluasaan mengembangkan peran mereka. Segmen klimaksnya jelas memang tidak buruk, namun nyaris dua dekade lalu, satu seri fantasi fenomenal (seri The Lord of the Ring) menaikkan standar aksi sejenis dengan batasan estetik yang amat tinggi. Mau apa lagi?
Maleficent: Mistress of Evil adalah sebuah sekuel formalitas tanpa kehangatan seperti seri pertamanya sekalipun pencapaian visualnya yang mengesankan. Film sekuel sejenis, kelak bakal menjadi bumerang bagi para produsen, mengingat penonton kini memiliki banyak pilihan. Dalam satu titik kelak, penonton bakal lelah terhadap film sekuel jika tidak menawarkan sesuatu yang segar. Sekuel kedua Maleficent? Tentu mutlak jika film ini sukses komersial. Bahkan saya pun sudah bisa menebak plotnya bakal seperti apa.