Midway (2019)
138 min|Action, Drama, History|08 Nov 2019
6.7Rating: 6.7 / 10 from 96,232 usersMetascore: 47
The story of the Battle of Midway, told by the leaders and the sailors who fought it.

Roland Emmerich memang sudah sejak lama memproduksi film-film kolosal, macam Independence Day, Godzilla, The Day after Tomorrow, hingga 2012. Midway adalah film garapannya sejak Independence Day: Resurgence, 3 tahun silam. Berbekal pengalamannya serta bujet hanya USD 100 juta, Emmerich didukung pula beberapa bintang ternama, sebut saja Patrick Wilson, Luke Evans, Ed Skrein, Aaron Eckhart, Woody Harrelson, Dennis Quaid, Nick Jonas, serta Mandy Moore. Dengan genrenya yang kini tengah meredup, mampukah Midway menembus persaingan di antara genre populer lainnya?

Terlalu banyak plot jika harus dijelaskan secara tertulis. Inti kisahnya adalah cerita yang melatarbelakangi pertempuran di wilayah Kepulauan Midway yang diistilahkan The Battle of Midway, yang terjadi beberapa waktu setelah peristiwa Pearl Harbour. Bagi yang pernah menonton Pearl Harbour (2001), kisah Midway lebih luas dari ini dan kisah Pearl Harbour (film) pun ada di sini. Alhasil, Midway menampilkan banyak sekali subplot, walau inti kisahnya masih fokus pada para pilot pesawat yang terlibat dalam pertempuran Midway. Dua sisi, AS dan Jepang disajikan nyaris seimbang.

Banyaknya subplot jelas sangat membingungkan penonton. Latar dan timeline sejarah amat penting di sini. Sepanjang film, saya nyaris tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Plotnya bergulir sangat cepat, dari pertempuran ke pertempuran lainnya, lokasi satu ke lokasi lain, komandan satu ke komandan lainnya, tanpa ada waktu untuk bisa berempati ke karakter-karakternya. Film ini layaknya peristiwa sejarah yang disajikan secara visual, minim sisi drama dan humanis, yang lazimnya kental di genre sejenis. Lelah. Tak ada satu pun sosok yang cukup untuk kita pegang dan pedulikan.

Baca Juga  Surrogates

Boleh diakui memang, aksi-aksi pertempuran di udaranya mampu disajikan dengan sangat memukau. Saking cepatnya sehingga terlihat real, walau satu dua momen terlihat artifisial. Hebat memang tapi untuk apa jika ini disajikan terus menerus tanpa henti dan minim empati terhadap para karakternya. Lelah. Saya hampir saja terlelap di tengah kebisingan aksi pertempuran pesawat dan kapal laut. Unsur suara memang demikian hebat jika menonton di bioskop yang bertata suara prima. Jarang sekali, saya mendengar suara bas sedalam ini untuk sebuah film aksi di bioskop.

Dengan dominasi segmen aksi dan CGI, Midway kehilangan ruh cerita melalui kerumitan subplotnya serta esensi urgensi proyeknya yang tak banyak beresonansi dengan isu masa kini. Untuk apa, film ini dibuat di masa sekarang? Dari sisi box-office, tentu bakal sulit, film ini bersaing dengan film-film populer lainnya. Sementara isu kepahlawanan dan patriotisme telah diwakili secara dominan oleh film-film superhero yang merajai sepanjang tahun ini. Bisa jadi hanya warga AS (atau Jepang?) yang bisa menikmati film ini lebih baik. Ironisnya jika bicara isu perang, saya tidak bisa memilih kedua pihak karena sama-sama pintar dan sama-sama konyolnya. Mungkin secara sederhana, film ini hanya ingin menyampaikan pesan jika perang hanyalah sebuah kekonyolan absolut. Di lain sisi, karya terbaik Emmerich bagi saya masih The Day after Tomorrow yang mampu menjaga kesimbangan antara sisi aksi dan drama menjadi sebuah tontonan yang sangat menghibur.

PENILAIAN KAMI
Overall
50 %
Artikel SebelumnyaHanya Manusia
Artikel BerikutnyaPeta Kecil Industri Kritik Film Indonesia
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.