Parasite (2019)
132 min|Drama, Thriller|08 Nov 2019
8.5Rating: 8.5 / 10 from 991,452 usersMetascore: 96
Greed and class discrimination threaten the newly formed symbiotic relationship between the wealthy Park family and the destitute Kim clan.

Parasite adalah film komedi thriller arahan Bong Joon-ho yang memang sudah kita kenal dengan film-film berkelasnya, macam Memories of Murder, The Host, Mother, Snowpiercer, dan Okja. Film-film karya Bong memang sudah lama malang melintang dalam festival-festival film besar di dunia sehingga tak heran, Parasite akhirnya meraih penghargaan Palme d’Or dalam ajang Cannes Film Festival 2019. Parasite yang berbujet sekitar US$ 11 juta dibintangi oleh aktor regulernya Song Kang-ho, bersama Lee Sun-kyun, Cho Yeo-jeong, serta Choi Woo-sik. Menjadi pertanyaan besar, apakah tahun depan Bong bakal meraih Piala Oscar pertamanya?

Kim dan keluarganya, tinggal di ruang basemen satu bangunan di sebuah pemukiman kumuh. Saking putus asanya hingga mereka harus menerima pekerjaan melipat karton bungkus Pizza yang itu pun tidak dilakukan dengan becus. Hingga suatu ketika, Ki-woo, putra Kim mendapat tawaran pekerjaan menjadi guru les privat bahasa Inggris di sebuah rumah mewah milik Keluarga Park. Di tempat tersebut, Ki-woo melihat satu peluang besar untuk merubah nasib keluarganya.

Dari semua film garapan Bong, rasanya ini adalah karya terbaiknya, baik dari sisi cerita maupun kemasan estetiknya. Tak banyak yang bisa saya jelaskan secara rinci mengenai alur kisahnya. Satu kejutan kecil dalam kisahnya adalah juga spoiler filmnya. Memang idealnya, kita harus menonton filmnya terlebih dahulu sebelum membaca ulasan apapun tentang film ini. Tapi saya akan mencoba mengulas tanpa menyinggung kisahnya. Tidak seperti film-film Bong sebelumnya, plot Parasite terhitung sederhana dan enak untuk diikuti.

Sejak awal, alur plotnya berjalan lambat, namun pasti, tanpa ada satu momen pun yang terlepas. Dialog serta adegan disajikan begitu rapi untuk membangun plotnya. Kejutan demi kejutan terus bergulir tanpa sama sekali bisa diprediksi. Tak ada satu momen pun, sejak awal hingga akhir yang membuat kita bosan. Kita tahu sesuatu pasti bakal terjadi, namun tak jelas bakal seperti apa dan selalu membuat penasaran. Intensitas cerita pun semakin meningkat pada pertengahan cerita, kejutan pun semakin menjadi hingga klimaks filmnya. Menariknya, semua ini hanya terjadi dalam satu lokasi saja, satu rumah besar dengan tata ruang dan artistik yang menawan. Plot dalam ruang terbatas, sudah banyak kita lihat dalam film, namun dijamin, plot seperti ini, belum pernah kalian lihat sebelumnya.

Baca Juga  Detective Conan: The Fist of Blue Sapphire

Entah dari mana sang sineas bisa mendapat ide segar dan brilian semacam ini. Kisahnya berjalan serius dan nyaris tak ada celotehan konyol dalam filmnya, namun hebatnya, di saat bersamaan sisi humornya bisa disajikan dengan efektif dengan cara yang amat berkelas. Unsur humor juga mampu memadu sempurna dengan sisi ketegangannya. Parasite bukan film horor tapi sisi “horor” filmnya melebihi film horor lazimnya. Satu adegan “petak umpet” disajikan dengan amat menegangkan dan ikut membuat kita menahan napas, padahal di sini tidak ada adegan yang mengancam nyawa tokoh-tokohnya.

Para kastingnya adalah satu sisi lain yang menjadi salah satu kekuatan besar filmnya. Seluruh pemainnya bermain kuat dan brilian serta pas dengan perannya. Uniknya, khususnya keluarga Kim, mereka juga bermain peran bukan sebagai peran dalam kisahnya. Jadi mereka berakting dobel. Kok bisa? Jika sudah menonton, pasti paham. Sementara si keluarga kaya, semuanya bermain brilian pula, khususnya sang ibu dan putrinya. Aspek teknis yang juga amat menonjol adalah tata artistik dan sinematografinya. Tak perlu lagi kita bicara soal rumah mewah dengan segala pencapaian artistiknya yang menjadi pendukung utama kisahnya, bahkan ruang basemen kumuh, tempat tinggal keluarga Kim pun, dengan jendelanya yang menghadap ke arah gang, sudah menarik untuk dieksplor menjadi satu cerita tersendiri. Sementara sisi sinematografi memang sudah lama menjadi kekuatan sang sineas dengan komposisinya yang sangat matang dan terukur. Beberapa shot-nya pun bersama mise_en_scene-nya jika diamati lebih jeli, banyak memiliki makna tersembunyi. Singkatnya, semua aspek sinematiknya bekerja sempurna mendukung sisi kisah dan pesannya. Tanpa makna dan pesan filmnya pun, Parasite, baik secara cerita maupun estetik sudah merupakan satu pencapaian istimewa bagi medium film.

Bermodal sentuhan emas sang sineas, naskah, kasting, sinematografi, dan tata artistik yang brilian, Parasite adalah salah satu komedi thriller terbaik yang pernah diproduksi. Sang sineas melalui film-filmnya memang seringkali berbicara tentang ketidakadilan, kesenjangan sosial, isu lingkungan, hingga isu politik di negaranya. Isu kesenjangan dan kecemburuan antara si miskin dan si kaya memang terlihat mencolok dalam Parasite. Isu sosial yang kabarnya kini menjadi salah satu masalah terbesar di Korea Selatan. Parasite mengisahkan satu lingkaran setan (kemiskinan) yang seolah tidak pernah berakhir dan selalu berakhir pada titik terbawah yang sama. Siapa sejatinya yang menjadi parasit (organisme yang menghisap makanan dari tubuh inangnya), Keluarga Kim, Keluarga Park, atau si pria dalam kegelapan? Semua adalah parasit.

 

PENILAIAN KAMI
Overall
100 %
Artikel SebelumnyaAnna
Artikel BerikutnyaAnnabelle Comes Home
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.