Setelah film superhero, Gundala (2019) yang dirilis beberapa saat lalu, kali ini Joko Anwar merilis film horor, Perempuan Tanah Jahanam. Film ini diproduksi empat rumah produksi sekaligus yakni, Base Entertainment, CJ Entertainment, Rapi Films, dan Ivanhoe Pictures. Joko Anwar memiliki reputasi bagus, setidaknya setelah sukses film Pengabdi Setan (2017) yang membuat namanya semakin dikenal di luar. Mengekor sukses Pengabdi Setan, tak heran jika film terbaru sang sineas diserbu penonton pada hari pertama rilisnya.  Aktris andalannya, Tara Basro bermain menjadi tokoh utama dan aktris senior Christine Hakim pun turut berakting dalam film ini.

Film ini bercerita tentang dua sahabat, yakni Maya (Tara Basro) dan Dini (Marissa Anita). Maya kini hidup sebatang kara. Keduanya bekerja sebagai petugas tiket pintu tol. Suatu ketika, Maya diganggu oleh seorang tak dikenal, yang seolah mengenal Maya dan berkata-kata tentang masa lalunya. Peristiwa itu mengingatkanya pada sebuah foto lama yang ia miliki dengan background sebuah rumah tua. Berbekal foto dan informasi yang ia dapatkan, bersama Dini, akhirnya mereka mencari keberadaan rumah tua tersebut yang berada di dusun terpencil. Perjalanan keduanya pun dimulai. Keanehan-keanehan pun juga mulai muncul.

Adegan secara unik dibuka dengan dialog intens antara Maya dan Dini di pintu loket tol di malam hari. Percakapan yang semula ringan berlanjut serius. Penonton digiring masuk ke dalam film melalui dua tokoh ini, yang sudah terlihat chemistry-nya. Unsur misteri dibangun di awal secara  efektif untuk memantik rasa penasaran penonton. Konsistensi unsur misteri terjaga dengan baik hingga perjalanan mereka sampai di dusun. Menjelang pertengahan, tempo film berangsur meningkat sejalan dengan aksinya yang mengakibatkan intensitas misteri menurun.

Baca Juga  The Architecture of Love

Film ini memang lebih menekankan sisi thriller ketimbang unsur horor yang lazimnya menyajikan sosok hantu atau jump-scare. Intensitas ketegangan memang muncul ketika mereka terlibat konflik dengan warga, yang sayangnya dikemas ala kadarnya. Padahal sisi ketegangan masih bisa dieksplor lebih dalam dengan dukungan pembatasan setting-nya. Film ini memang tak sekuat Pengabdi Setan (2017) yang memiliki alur serta sisi ketegangan yang selalu terjaga. Selain itu, plotnya juga tak luput dari kejanggalan serta lubang plot yang mengganggu. Satu contoh adegan ketika Maya diserang seseorang. Dari mana si penyerang mengetahui jika ada sesuatu di kaki Maya yang sengaja ia sembunyikan?

Film ini mencoba mengeksplor plot dengan dukungan mise-en-scene melalui setting, tata cahaya, serta akting pemain. Setting-nya sungguh memiliki potensi lebih dengan lokasi terpencil serta reputasi “aneh”-nya. Setiap orang yang ingin ke sana pun harus menyusuri hutan dengan kereta kuda. Saya jadi teringat film horor The Women in Black yang juga mirip seperti ini. Namun, terdapat beberapa hal terkait setting kampung yang terlihat kurang alami dan terlihat dibuat ala kadarnya. Beruntung, akting kedua bintangnya, Tara Basro dan Marissa Anita bermain sangat baik dan menjadi kunci jalannya cerita.

PENILAIAN KAMI
Overall
70 %
Artikel SebelumnyaAjari Aku Islam
Artikel BerikutnyaRetrospeksi Film Pendek Montase: Superboy
Agustinus Dwi Nugroho lahir di Temanggung pada 27 Agustus 1990. Ia menempuh pendidikan Program Studi Film sejak tahun 2008 di sebuah akademi komunikasi di Yogyakarta. Di sinilah, ia mulai mengenal lebih dalam soal film, baik dari sisi kajian maupun produksi. Semasa kuliah aktif dalam produksi film pendek baik dokumenter maupun fiksi. Ia juga lulus dengan predikat cum laude serta menjadi lulusan terbaik. Ia mulai masuk Komunitas Film Montase pada tahun 2008, yang kala itu masih fokus pada bidang apresiasi film melalui Buletin Montase, yang saat ini telah berganti menjadi website montasefilm.com. Sejak saat itu, ia mulai aktif menulis ulasan dan artikel film hingga kini. Setelah lulus, ia melanjutkan program sarjana di Jurusan Ilmu Komunikasi di salah satu perguruan tinggi swasta di Jogja. Penelitian tugas akhirnya mengambil tema tentang Sinema Neorealisme dan membandingkan film produksi lokal yang bertema sejenis. Tahun 2017, Ia menyelesaikan studi magisternya di Program Pascasarjana Jurusan Pengkajian Seni di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta dengan minat utama film. Penelitian tesisnya terkait dengan kajian narasi dan plot sebuah film. Saat ini, ia tercatat sebagai salah satu staf pengajar di Program Studi Film dan Televisi, ISI Yogyakarta mengampu mata kuliah teori, sejarah, serta kajian film. Ia juga aktif memberikan pelatihan, kuliah umum, seminar di beberapa kampus, serta menjadi pemakalah dalam konferensi Internasional. Biodata lengkap bisa dilihat dalam situs montase.org. Prestasi besar terakhirnya adalah menjadi nominator Festival Film Indonesia 2021 untuk kategori Kritikus Film Terbaik melalui artikel "Asih, Cermin Horor Indonesia Kontemporer" bersama rekan penulisnya, Miftachul Arifin.

2 TANGGAPAN

    • Memangnya kenapa, mas, kalau penulisnya bukan Himawan Pratistia? Apakah menjadi kurang kredibel untuk bisa dipercaya?

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.