Apakah pasangan Ditto-Ayu siap untuk punya anak? Sebuah pertanyaan besar yang akan dijawab oleh sekuel #TemanTapiMenikah. Sebuah kisah persahabatan belasan tahun yang berujung pernikahan dalam #TemanTapiMenikah2. Masih seperti sebelumnya, film kedua ini pun merupakan adaptasi dari buku berjudul sama karya Ayudia Bing Slamet yang notabene berangkat dari kisah nyatanya bersama Ditto Percussion. Film produksi Falcon Pictures ini mendapuk orang-orang dengan formasi yang sama seperti film sebelumnya, menempatkan Rako Prijanto sebagai sutradara dan Johanna Wattimena sebagai penulis. Bedanya, Upi Avianto tak ikut serta dalam penulisan skenario film kedua ini. Dengan mengusung genre biografi drama roman komedi, film ini dibintangi oleh Adipati Dolken, Mawar Eva de Jongh, Vonny Cornellya, Sari Nila, Sarah Sechan, serta Nagra Kautsar Pakusadewo. Apakah teman tapi menikah sebagaimana menyenangkan bayangan orang-orang? Film ini akan menjawabnya.

Kisah relasi persahabatan antara Ayu (Mawar Eva de Jongh) dan Ditto (Adipati Dolken) berlanjut ke jenjang pernikahan. Daftar rencana dan mimpi-mimpi baru sebagai pengantin muda telah mereka susun. Namun, tanpa adanya rencana untuk segera punya anak sama sekali, Ayu hamil. Ditto-Ayu pun dihadapkan pada situasi yang serba berkonflik, menyikapi perubahan perilaku Ayu karena hormon kehamilan, sementara Ditto masih sulit mengubah caranya bersikap kepada sahabat yang telah menjadi istri sekaligus ibu dari calon anaknya. Keduanya (terutama Ditto) bahkan masih mempertanyakan bagaimana cara menggapai mimpi-mimpi dan cita-cita mereka yang masih panjang, serta banyak hal lain yang ingin dilakukan bersama. Mau tak mau, mereka harus menyikapi situasi besar pertama dalam hidup mereka ini.

Film ini, jika ingin dikomparasi dengan film-film drama roman keluarga yang rilis beberapa bulan ke belakang yakni Eggnoid: Cinta & Portal Waktu, 99 Nama Cinta, Susi Susanti: Love All, Wedding Agreement, dan Keluarga Cemara, #TemanTapiMenikah2 menghadirkan kombinasi sisi lembut dan hangat, berbalut komedi renyah yang ramah di telinga dan mata tanpa banyak paksaan, dengan relasi yang berangkat dari persahabatan. Boleh dibilang, film ini lebih baik ketimbang film pertamanya tahun 2018. Jika ada pertanyaan “Usia berapa saja yang bisa terhubung dengan film ini?”, di atas 13 tahun hingga banyak pasangan suami istri sangat bisa.

#TemanTapiMenikah2 mengisahkan dengan baik setiap masalah dalam kehidupan pasangan muda Dito-Ayu pada masa awal pernikahan mereka. Tak tanggung-tanggung, film ini melakukan tindakan-tindakan bijak dengan memanfaatkan sebaik mungkin beragam aspek filmis. Para pembuat film (juga kedua pemilik cerita) seakan tidak ingin ada celah dalam karya mereka. Mulai dari sinematografi, tata cahaya, dialog, lagu, hingga akting para pemain semaksimal mungkin mendekati kisah nyatanya.

Walau akting sedih Adipati Dolken masih saja terasa sulit untuk mencapai titik yang memuaskan saat menangis. Kualitas pada momen tangisan ini justru berhasil ditempati secara konsisten oleh Mawar de Jongh. Alih-alih mengimbangi Mawar –sekali lagi— dalam momen ini, akting Adipati justru cenderung komedis dan kocak. Hal ini sangat bisa dipandang dari dua sisi. Pertama, sosok Ditto yang memang kocak dan jarang tampil serius –banyak dari kita tahu soal itu, dan bahkan tidak akan terlalu mempermasalahkannya juga. Namun jika ditarik jauh ke belakang, menilik film-film Adipati lainnya, ia hanya berhasil pada akting-akting komedi, frustasi, marah, tidak sabaran, hingga bimbang dalam lamunan. Aktor yang satu ini belum mampu beradegan sedih hingga mengalirkan air mata –tanpa mengubah efek adegan tersebut menjadi komedi yang memecah tawa penonton.

Baca Juga  Tusuk Jelangkung

Pemeran sosok Ayu pun memang seharusnya diganti. Terbukti dengan pencapaian Mawar yang mampu melampaui Vanesha dalam aktingnya. Menjadi sosok Ayu dengan karakter yang lebih dewasa, karena mau tak mau harus menyikapi dengan baik masa-masa kehamilannya hingga proses persalinan berlangsung. Dari segi fisiologis pun Mawar lebih mirip Ayu atau Uca, ketimbang Vanesha. Apalagi bila ditambah dengan chemistry antara ia dengan Adipati sebagai sepasang sahabat, suami-istri, orang tua, yang selalu bersama dalam setiap tangis dan tawa. Termasuk, momen komedi mereka yang absurd, aneh, tapi terasa dekat dan akrab, sebagaimana relasi antara kedua sosok aslinya.

Beberapa orang yang telah menonton #TemanTapiMenikah2 mengatakan bahwa tidak perlu menonton film pertamanya. Jika hanya disimpulkan melalui aspek cerita maupun naratifnya, pendapat ini memang masuk akal, karena penonton masih sangat bisa memahami film ini tanpa perlu menonton yang pertama. Namun, bila ingin tahu perbedaan pencapaian (dari segala aspek) di antara keduanya, tentu harus menonton film pertama agar dapat melakukan komparasi dengan baik.

Mengenai aspek lain seperti sinematografi dan tata cahaya, berhasil membangun emosi cerita di setiap segmennya. Terutama pada titik-titik yang ingin diberi penekanan. Walau dalam beberapa segmen, keindahan gambar dengan tata cahayanya justru menjauhkan penonton dari ketidaknyamanan situasi, kondisi, dan suasana yang ingin dicapai.

#TemanTapiMenikah2 menjadi sekuel dengan tingkat kepuasan melebih film pertama. Beberapa kalimat dalam dialog film ini pun mengandung analogi-analogi terbaik untuk menyikapi masalah-masalah, baik dalam pernikahan, relasi persahabatan, maupun kehidupan. Selain aspek-aspek paling kuat dalam film ini seperti akting, sinematografi, tata cahaya, dan dialog, tampaknya lagu untuk #TemanTapiMenikah2 pun mengikuti jejak sejumlah film drama yang tayang beberapa bulan ke belakang, sebut saja Nanti Kita Cerita tentang Hari Ini, Habibie & Ainun 3, Imperfect: Karier, Cinta & Timbangan, dan Eggnoid: Cinta & Portal Waktu, yang masih terngiang di ingatan bahkan dinikmati hingga sekarang. Lagu berjudul Teman Sampai Surga dari Dengarkan Dia mampu membius para penikmat #TemanTapiMenikah2 di penghujung film.

 

PENILAIAN KAMI
Overall
80 %
Artikel SebelumnyaGuns Akimbo
Artikel BerikutnyaMekah I’m Coming
Miftachul Arifin lahir di Kediri pada 9 November 1996. Pernah aktif mengikuti organisasi tingkat institut, yaitu Lembaga Pers Mahasiswa Pressisi (2015-2021) di Institut Seni Indonesia Yogyakarta, juga turut andil menjadi salah satu penulis dan editor dalam media cetak Majalah Art Effect, Buletin Kontemporer, dan Zine K-Louder, serta media daring lpmpressisi.com. Pernah pula menjadi kontributor terpilih kategori cerpen lomba Sayembara Goresan Pena oleh Jendela Sastra Indonesia (2017), Juara Harapan 1 lomba Kepenulisan Cerita Pendek oleh Ikatan Penulis Mahasiswa Al Khoziny (2018), Penulis Terpilih lomba Cipta Puisi 2018 Tingkat Nasional oleh Sualla Media (2018), dan menjadi Juara Utama lomba Short Story And Photography Contest oleh Kamadhis UGM (2018). Memiliki buku novel bergenre fantasi dengan judul Mansheviora: Semesta Alterna􀆟f yang diterbitkan secara selfpublishing. Selain itu, juga menjadi salah seorang penulis top tier dalam situs web populer bertema umum serta teknologi, yakni selasar.com dan lockhartlondon.com, yang telah berjalan selama lebih-kurang satu tahun (2020-2021). Latar belakangnya dari bidang film dan minatnya dalam bidang kepenulisan, menjadi motivasi dan alasannya untuk bergabung dengan Komunitas Film Montase sejak tahun 2019. Semenjak menjadi bagian Komunitas Film Montase, telah aktif menulis hingga puluhan ulasan Film Indonesia dalam situs web montasefilm.com. Prestasi besar terakhirnya adalah menjadi nominator Festival Film Indonesia 2021 untuk kategori Kritikus Film Terbaik melalui artikel "Asih, Cermin Horor Indonesia Kontemporer" bersama rekan penulisnya, Agustinus Dwi Nugroho.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.