Baru saja merilis Fantasy Island, Jason Blum kini sudah kembali merilis film barunya, The Invisible Man. Film horor fiksi ilmiah ini merupakan adaptasi lepas dari novel populer berjudul sama karya penulis legendaris H.G. Wells. Blum kini menunjuk kolega regulernya, Leigh Whannell untuk menggarap proyek ini setelah sebelumnya sukses sebagai penulis seri Insidious dan bahkan mengarahkan seri ketiga. Proyek film fiksi ilmiah mereka sebelum ini, Upgrade (2018) rupanya memberi pengaruh besar bagi proyek ini karena tone-nya yang sama. Dengan berbekal bujet hanya USD 7 juta dan bintang-bintang kelas dua, mampukah Blum dan Whannell kembali unjuk gigi melalui tangan emas mereka?
Alkisah Cecilia yang tak kuat tinggal bersama Adrian yang posesif, jenius, dan eksentrik, akhirnya memilih untuk lari dari rumah mewah sang suami. Cecilia yang trauma berat lalu tinggal di rumah rekannya, James dan putrinya, Sidney. Dalam perkembangan, sang suami diberitakan bunuh diri di rumahnya, namun itu tidak membuat Cecilia tenang. Ia selalu merasa dikuntit oleh Adrian, namun semua orang justru menganggapnya sebagai gangguan kejiwaan.
Walau nuansa Upgrade dan The Hollow Man masih amat bisa kita rasakan, namun entah mengapa, film ini masih terasa segar baik plot maupun sisi estetiknya. Bahkan The Invisible Man masih jauh lebih baik dari dua film di atas. Film ini dibuka dengan salah satu segmen pembuka horor terbaik dalam genrenya. Tak ada efek visual, teknik sederhana, namun sangat efektif membangun ketegangan maksimum pada penonton. Sepanjang filmnya, boleh percaya atau tidak, kita disuguhkan adegan demi adegan menegangkan yang intensitasnya makin meningkat. Naskahnya yang brilian mampu membangun ketegangan setapak demi setapak tanpa membiarkan penonton lepas dari plotnya. Kejutan demi kejutan pun selalu terjadi dan ini yang membuat kita tidak pernah merasa lelah dan bosan, sekali pun berdurasi 2 jam lebih. Naskahnya nyaris sempurna, kecuali untuk satu segmen kecil yang tak sulit diantisipasi plotnya.
Tak ada trik horor dan aksi yang sulit, semua sederhana, dan bahkan film ini terasa layaknya seperti film independen. Namun, efeknya sungguh luar biasa mengejutkan, dan tak heran jika jeritan kecil terdengar di sana-sini selama menonton. Ini bukan karena trik horornya tapi adalah bagaimana sang sineas mampu membawa kita larut dalam kisahnya dan berempati dengan sosok Cecilia yang membuatnya bekerja maksimal. Sosok sang bintang yang bermain apik, Elisabeth Moss adalah satu alasan lagi yang membuat film ini bekerja sangat baik. Moss nyaris sepanjang film bermain dengan penuh kegamangan, trauma, dan selalu gelisah, yang mampu mendapat empati penuh dari penonton karena kita pun seolah mampu merasakan apa yang ia rasakan. Sangat brilian!
Surprise! Dengan naskah brilian, trik efisien nan efektif, serta penampilan sang bintang yang kuat, The Invisible Man adalah salah satu horor fiksi ilmiah terbaik yang pernah diproduksi. Blum kembali berhasil membuat film horor murah yang berkualitas sangat baik. Whannell pun demikian. Job done. Tak ada komentar lagi. Jangan sampai lewatkan salah satu film sensasional di awal tahun ini di layar bioskop, dan pastikan menontonnya di studio terbaik karena musik dan efek suara adalah salah satu pendukung kuat filmnya.