The Invisible Man (2020)
124 min|Drama, Horror, Mystery|28 Feb 2020
7.1Rating: 7.1 / 10 from 260,519 usersMetascore: 72
When Cecilia's abusive ex takes his own life and leaves her his fortune, she suspects his death was a hoax. As a series of coincidences turn lethal, Cecilia works to prove that she is being hunted by someone nobody can see.

Baru saja merilis Fantasy Island, Jason Blum kini sudah kembali merilis film barunya, The Invisible Man. Film horor fiksi ilmiah ini merupakan adaptasi lepas dari novel populer berjudul sama karya penulis legendaris H.G. Wells. Blum kini menunjuk kolega regulernya, Leigh Whannell untuk menggarap proyek ini setelah sebelumnya sukses sebagai penulis seri Insidious dan bahkan mengarahkan seri ketiga. Proyek film fiksi ilmiah mereka sebelum ini, Upgrade (2018) rupanya memberi pengaruh besar bagi proyek ini karena tone-nya yang sama. Dengan berbekal bujet hanya USD 7 juta dan bintang-bintang kelas dua, mampukah Blum dan Whannell kembali unjuk gigi melalui tangan emas mereka?

Alkisah Cecilia yang tak kuat tinggal bersama Adrian yang posesif, jenius, dan eksentrik, akhirnya memilih untuk lari dari rumah mewah sang suami. Cecilia yang trauma berat lalu tinggal di rumah rekannya, James dan putrinya, Sidney. Dalam perkembangan, sang suami diberitakan bunuh diri di rumahnya, namun itu tidak membuat Cecilia tenang. Ia selalu merasa dikuntit oleh Adrian, namun semua orang justru menganggapnya sebagai gangguan kejiwaan.

Walau nuansa Upgrade dan The Hollow Man masih amat bisa kita rasakan, namun entah mengapa, film ini masih terasa segar baik plot maupun sisi estetiknya. Bahkan The Invisible Man masih jauh lebih baik dari dua film di atas. Film ini dibuka dengan salah satu segmen pembuka horor terbaik dalam genrenya. Tak ada efek visual, teknik sederhana, namun sangat efektif membangun ketegangan maksimum pada penonton. Sepanjang filmnya, boleh percaya atau tidak, kita disuguhkan adegan demi adegan menegangkan yang intensitasnya makin meningkat. Naskahnya yang brilian mampu membangun ketegangan setapak demi setapak tanpa membiarkan penonton lepas dari plotnya. Kejutan demi kejutan pun selalu terjadi dan ini yang membuat kita tidak pernah merasa lelah dan bosan, sekali pun berdurasi 2 jam lebih. Naskahnya nyaris sempurna, kecuali untuk satu segmen kecil yang tak sulit diantisipasi plotnya.

Baca Juga  CODA

Tak ada trik horor dan aksi yang sulit, semua sederhana, dan bahkan film ini terasa layaknya seperti film independen.  Namun, efeknya sungguh luar biasa mengejutkan, dan tak heran jika jeritan kecil terdengar di sana-sini selama menonton. Ini bukan karena trik horornya tapi adalah bagaimana sang sineas mampu membawa kita larut dalam kisahnya dan berempati dengan sosok Cecilia yang membuatnya bekerja maksimal. Sosok sang bintang yang bermain apik, Elisabeth Moss adalah satu alasan lagi yang membuat film ini bekerja sangat baik. Moss nyaris sepanjang film bermain dengan penuh kegamangan, trauma, dan selalu gelisah, yang mampu mendapat empati penuh dari penonton karena kita pun seolah mampu merasakan apa yang ia rasakan. Sangat brilian!

Surprise! Dengan naskah brilian, trik efisien nan efektif, serta penampilan sang bintang yang kuat, The Invisible Man adalah salah satu horor fiksi ilmiah terbaik yang pernah diproduksi. Blum kembali berhasil  membuat film horor murah yang berkualitas sangat baik. Whannell pun demikian. Job done. Tak ada komentar lagi. Jangan sampai lewatkan salah satu film sensasional di awal tahun ini di layar bioskop, dan pastikan menontonnya di studio terbaik karena musik dan efek suara adalah salah satu pendukung kuat filmnya.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
90 %
Artikel SebelumnyaSonic the Hedgehog
Artikel BerikutnyaThe Invisible Man
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.