untamed

Untamed adalah drama investigasi rilisan Netflix yang merupakan kreasi Mark L. Smith dan Elle Smith. Film ini dibintangi sederetan nama kawakan, yakni Eric Bana, Rosemarie DeWitt, Sam Neill, Lily Santiago, serta Wilson Bethel. Seri ini bertotal enam episode yang berdurasi rata-rata 48 menit. Dengan modal lokasi set yang diproduksi seluruhnya di Taman Nasional Yosemite, AS, akankah miniseri ini mampu menawarkan sesuatu bagi genrenya yang sudah cukup ramai di pasaran?

Dua orang pendaki tebing mendadak menemukan seorang gadis muda yang tewas dengan tragis. Petugas taman, pimpinan Paul Souter (Neill) segera menangani kasus ini, termasuk seorang agen ISB (petugas penyelidik kriminal), Kyle Turner yang telah lama tinggal di sana. Selama investigasi, Kyle didampingi Naya Vasquez (Santiago) yang merupakan petugas baru, pindahan dari Los Angeles. Investigasi mengarah ke dugaan pembunuhan karena peluru yang ada di kakinya. Tanpa mereka sadari, investigasi rupanya melibatkan sebuah jaringan kriminal regional yang telah beroperasi sejak lama.

Dari ringkasan plotnya, tidak terlihat ada sesuatu yang istimewa dalam kisahnya. Miniseri bernuansa investigasi macam ini sering kali dirilis dengan beberapa di antaranya berkualitas tinggi, sebut saja Mare of Easttown serta Defending Jacob. Belum terhitung seri drama pembunuhan dan investigasi populer yang telah rilis bermusim-musim yang tak perlu disebut di sini. Kisah Untamed memiliki pendekatan senada dengan dua miniseri di atas, yakni trauma dan keluarga. Hanya saja, Untamed memiliki sesuatu yang lebih ketimbang keduanya, yakni set lokasi wisata alam yang indah dengan gaya investigasi unik di lapangan.

Untamed secara brilian mengemas kisahnya melalui proses investigasi yang berbeda. Penonton tidak dijejali dengan gaya investigasi ala penyelidik FBI yang mencari pembuktian melalui berkas dan dokumen, serta menanyai para saksi dari rumah ke rumah. Melalui sosok Kyle yang dingin, kita justru di ajak berkelana melintasi hutan dan bukit mengikuti jejak sang korban. Sosok Naya yang pemula menjadi medium bagi penonton untuk mendapat informasi cerita secara lugas. Nyaris sepanjang durasi serinya, didominasi eksplorasi sisi investigasi semacam ini. Satu dua hal, kita juga mendapat pelajaran bijak bagaimana alam dan manusia saling berinteraksi, di mana satu sisinya cenderung destruktif.

Baca Juga  Sonic the Hedgehog

Namun, di atas semuanya, sisi investigasi yang rumit sesungguhnya hanyalah sempalan bagi problema para tokohnya. Kasus kriminal hanya sebatas katalis bagi masalah batin yang dihadapi, yang mau tidak mau harus mereka hadapi. Tidak hingga akhir, kita tahu persis yang yang sesungguhnya terjadi dengan putra Kyle dan istrinya Jill (DeWitt). Walau penikmat film sejati, rasanya tidak butuh berpikir keras untuk mengantipasi cerita karena “petunjuk” telah gamblang terlihat.

Penggunaan kasting pemain besar, selalu membuat masalah, dan tak mungkin mereka memiliki peran yang tak penting dalam kisahnya. Walau pun itu semua, bisa tertutup dengan penampilan baik dari seluruh pemain utamanya, khususnya Bana dan DeWitt. Mereka mampu memperlihatkan dengan begitu ekspresif, trauma berat yang mereka alami sepanjang kisahnya. Sementara Santiago (Naya) mampu bermain sebagai pendamping karakter yang ideal bagi sosok Kyle. Bethel (Shane) walau tampil sesekali, tetapi selalu mencuri perhatian tiap kali karakternya muncul.

Untamed adalah drama miniseri yang mampu menyeimbangkan kisah antara sisi investigasi dan personal dengan berbalut set eksotis, serta penampilan kuat para kastingnya. Sebagai hiburan televisi, Untamed adalah sebuah pencapaian berkelas yang layak untuk disimak. Kisahnya yang membumi (trauma dan keluarga) dengan latar set yang demikian memukau menjadikan satu tontonan ringan tanpa harus berpikir keras, tetapi memiliki kedalaman. Pada akhirnya, semua masalah, baik lahir dan batin selalu berujung pada bagaimana kita harus berdamai dengan diri sendiri dan lingkungan. Alam mengajari kita untuk memberi solusi jika kita cermat dan selalu menyimak petunjuknya.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
80 %
Artikel SebelumnyaAgen +62 | REVIEW
Artikel BerikutnyaThe Fantastic Four: First Step | REVIEW
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). A lifelong cinephile, he developed a profound passion for film from an early age. After completing his studies in architecture, he embarked on an independent journey exploring film theory and history. His enthusiasm for cinema took tangible form in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience eventually led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched students’ understanding through courses such as Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended well beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, Understanding Film, an in-depth examination of the essential elements of cinema, both narrative and visual. The book’s enduring significance is reflected in its second edition, released in 2018, which has since become a cornerstone reference for film and communication scholars across Indonesia. His contributions to the field also encompass collaborative and editorial efforts. He participated in the compilation of Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1–3 and 30 Best-Selling Indonesian Films 2012–2018. Further establishing his authority, he authored Horror Film Book: From Caligari to Hereditary (2023) and Indonesian Horror Film: Rising from the Grave (2023). His passion for cinema remains as vibrant as ever. He continues to offer insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com while actively engaging in film production with the Montase Film Community. His short films have received critical acclaim at numerous festivals, both nationally and internationally. In recognition of his outstanding contribution to film criticism, his writing was shortlisted for years in a row for Best Film Criticism at the 2021-2024 Indonesian Film Festival. His dedication to the discipline endures, as he currently serves as a practitioner-lecturer in Film Criticism and Film Theory at the Indonesian Institute of the Arts Yogyakarta, under the Independent Practitioner Program from 2022-2024.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses