until dawn

Adaptasi gim untuk kesekian kalinya kembali diangkat ke layar lebar, di saat Minecraft kini masih berada di tangga atas box-office global. Until Dawn diadaptasi lepas dari gim horor survival populer produksi Sony Computer Entertaintment untuk konsol Playstation yang dirilis tahun 2012. Film ini diarahkan oleh sineas David F. Sandberg yang mengarahkan film horor sukses, yakni Lights Out, Annabelle: Creation, hingga seri superhero DC, Shazam! Until Dawn dibintangi sederetan bintang-bintang muda, antara lain Ella Rubin, Michael Cimino, Odessa A’zion, Ji-young Yoo, Belmont Cameli, hingga aktor senior, Peter Stormare. Bermodal sentuhan sang sineas dan popularitas gimnya, akankah film ini mampu memberikan sesuatu yang baru bagi genre dan subgenrenya?

Setahun setelah sang kakak menghilang tanpa jejak, Clover (Rubin) bersama empat rekannya, Max (Cimino), Nina (A’zion), Megan (Ji-young), dan Abel (Cameli), pergi ke wilayah terpencil di mana sang kakak terakhir terlihat. Di sana, mereka diarahkan menuju sebuah rumah tua misterius di tengah-tengah cuaca ekstrem. Malam pun tiba, mereka diburu dan dibunuh secara bergantian oleh sesosok penjagal brutal. Namun anehnya, mereka kembali ke momen sebelumnya dan terjebak dalam satu pusaran waktu yang tak berujung. Setiap kali tewas, mereka harus berhadapan dengan sosok penjagal brutal yang berbeda.

Bagi penikmat film, pasti tak asing dengan plot time loop atau waktu berulang. Namun yang membedakan kali ini adalah semua karakternya (tidak hanya satu orang) kembali ke momen yang sama dan menghadapi sosok entitas yang berbeda. Ini tentu sesuatu yang baru bagi formula plotnya dan menawarkan premis segar yang punya potensi besar untuk mengeksplorasi sisi misteri dan aksi ketegangannya. Plotnya memang mengarah ke sana, namun bukan jawaban atau petunjuk yang kita dapat, melainkan hanyalah misteri demi misteri serta kebingungan tak berujung. Mengapa anomali ini bisa terjadi, apa motifnya, dan mengapa harus Clover dan kawan-kawan, lalu siapa sesungguhnya ilmuwan jahat yang menjadi biang keladinya? Banyak pertanyaan yang tak bisa terjawab yang ini dibiarkan menggantung hingga perjalanan akhir plotnya.

Baca Juga  The Mule

Bicara soal Sandberg melalui sentuhan uniknya, masih bisa kita rasakan dalam garapannya kali ini, di luar cameo (foto salah satu missing person). Teknik jumpscare ala Lights Out beberapa kali digunakan dalam banyak adegannya. Untuk pencapaian visual, Sandberg telah terbukti handal untuk memainkan emosi penonton dengan kejutan-kejutan jump scare-nya yang nyaris nonstop sepanjang durasi. Sisi misteri yang menggantung dan aksi ketegangan tanpa jeda inilah yang membuat penonton lelah. Entitas penjagal dan aksi brutal yang bervariasi rupanya tidak lantas membuat pengadeganannya menarik dan banyak momen justru terlihat seperti mengulur waktu (kita tahu mereka pasti tewas).

Melalui potensi premis segar dan unik, Until Dawn terjebak dalam satu pusaran aksi dan misteri yang melelahkan sejak paruh kedua, tanpa tebasan akhir yang membekas. Secara umum, Until Dawn adalah sajian horor yang menghibur bagi para penikmat horor dan formula time loop, serta mungkin fans gimnya. Until Dawn kembali menjadi penegas tren adaptasi gim, khususnya horor, sejak seri Resident Evil, Silent Hill, Werewolves Within, hingga Five Nights at Freddy’s. Subgenre adaptasi gim rasanya kini sudah menjadi genre populer yang bakal menyala terang dalam satu dekade ke depan.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
65 %
Artikel SebelumnyaITALIAN FILM FESTIVAL 2025: VENICE IN JAKARTA DIMULAI DI JAKARTA DAN YOGYAKARTA
Artikel BerikutnyaDrop | REVIEW
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses