Siaran Pers: Webinar Festival Film Wartawan Indonesia XIV

Upaya Dukungan terhadap Film Nasional sebagai Aset Bangsa oleh Negara

Apakah negara selama ini telah melindungi produser film nasional dalam mendapatkan kepastian penayangan film di jaringan bioskop? Pun apakah negara telah memberikan ikhtiar yang sepatutnya dalam menjaga dan melindungi ekosistem film nasional di negeri sendiri?

Melalui Diskusi “Peran Pemerintah dalam Mendukung Produser Film: Kepastian Penayangan Film di Bioskop,” yang digagas Direktorat Perfilman, Musik, dan Media (PMM) Kemendikbudristek RI serta Departemen Seni Musik dan Film PWI Pusat dengan melibatkan sejumlah wartawan film, mencuat beberapa gagasan menantang.

Salah satunya dengan menjual Harga Tiket Masuk (HTM) yang berbeda antara film nasional dan impor. Diusulkan kemudian bahwa HTM tiket film impor agar tiga sampai lima kali lebih mahal dari film nasional. Dengan demikian diharapkan ekosistem film nasional terlindungi atau jauh lebih terjaga keberadaannya. Demikian menurut wartawan senior dan ahli hukum pers, Wina Armada Sukardi dalam diskusi yang berjalan secara daring di Jakarta, Selasa (16/7/2024) siang.

“Karena ada indikasi dumping (praktik dagang yang dilakukan oleh eksportir dengan cara menjual barang di luar negeri dengan harga yang lebih murah dibandingkan di dalam negeri –red) terutama dari film Hollywood, yang tiket nonton di luar negeri kalau dirupiahkan di angka Rp250 ribu, tapi tiket dijual di kita di harga Rp35 ribu hingga Rp50 ribu,” terang Wina Armada.

Melihat biaya produksi yang jauh berbeda dari film nasional, film Hollywood celakanya, menurut Wina Armada menjual tiket seharga film nasional. Akibatnya, jika diberi pilihan menonton film lokal atau impor dengan harga tiket yang sama, maka penonton berkecenderungan menonton film impor. Meski Wina tidak menampik raihan film lokal atau nasional saat ini mengungguli film impor.

“Tapi dalam waktu dekat, bukan tidak mungkin film impor akan melakukan rebound atau kembali meraih penonton besar, apalagi sejumlah film Marvel akan rilis lagi,” sambung pelaku dan penggiat film, Shandy Gasela.

Kendati wartawan senior, Yan Widjaja menolak usulan Wina Armada. Karena menurut dia, dengan harga tiket yang jomplang atau berbeda antara film lokal dan impor akan merugikan masyarakat Indonesia yang akan mengasup film impor.

“Berarti HTM film India, Korea, juga Thailand yang notabene juga film impor akan ikut berubah dong? Padahal di tahun 90-an yang mengusulkan harga tiket yang sama antara film lokal dan impor adalah Sophan Sophian, dengan harapan ada keadilan harga,” ungkap Yan Widjaja.

Baca Juga  Hitman’s Bodyguard Puncaki Box-office

Sementara itu menurut Asianto Sinambela, S.H., mantan negosiator Indonesia di World Trade Organization (WTO) serta mantan Konjen Indonesia di San Fransisco, AS, dan Marseille, Prancis tudingan dumping pada HTM di bioskop Indonesia akan berliku dibuktikan.

“Meski sebenarnya kita tidak perlu gentar berhadapan dengan WTO, karena kita sudah menjadi bagian dari warga dunia. Yang pasti selama sebuah sistem pasar kita nilai tidak adil, bisa kita uji,” katanya.

Senada, Ketua Departemen Seni, Film, dan Musik PWI Pusat, Benny Benke juga menjelaskan pemerintah Cina, Iran, hingga India mempunyai kiat masing-masing dalam memproteksi film nasional dari serbuan film asing di negaranya.

Sebelumnya Perwakilan Dit. PMM Kemendikbudristek, Nuzul Kristanto menjelaskan bahwa Negara telah memberikan regulasi yang jelas dan adil dalam melindungi ekosistem film nasional. Salah satunya adalah membuat regulasi yang mengatur tentang penayangan film di bioskop, termasuk persentase film lokal yang wajib ditayangkan. Dengan tetap mempertimbangkan pula kepentingan industri film secara keseluruhan. Selain itu, juga memberikan insentif dan subsidi kepada produser film lokal untuk membantu mereka memproduksi film berkualitas tinggi. Di antaranya melalui pemberian dana hibah, keringanan pajak, atau akses ke infrastruktur film yang lebih murah.

“Meski sampai saat ini pemerintah belum dapat membangun infrastruktur film seperti gedung bioskop, untuk membantu produser film lokal dalam mendistribusikan film mereka,” jelasnya.

Sebagaimana diharapkan banyak produser film nasional, peredaran film nasional agar tidak melulu bergantung pada eksebisioner swasta yang demikian menggurita dengan aturan mainnya sendiri. Dalam kondisi pemerintah tidak bisa leluasa mengatur sekalipun UU Perfilman telah mengamanatkannya.

Selain peran-peran di atas, pemerintah juga telah menjalin kerja sama dengan berbagai pihak, seperti industri film, organisasi masyarakat sipil, dan akademisi, untuk mengembangkan strategi yang efektif dalam melindungi dan memajukan industri film nasional.

Dalam diskusi yang dipandu wartawan senior Republika, Mohamad Akbar tersebut, diusulkan pula untuk merumuskan langkah yang lebih berani dengan mengawal UU Perfilman No. 33 tahun 2009. Bertujuan agar PP atau Peraturan Pelaksananya tidak hanya berhenti di Peraturan Menteri (Permen), sehingga memiliki daya tekan lebih kuat. Jadi persoalan lawas tentang tata edar menemukan jalan keluar yang lebih berkeadilan.

Artikel SebelumnyaDaddio
Artikel BerikutnyaDeadpool & Wolverine
memberikan ulasan serta artikel tentang film yang sifatnya ringan, informatif, mendidik, dan mencerahkan. Kupasan film yang kami tawarkan lebih menekankan pada aspek cerita serta pendekatan sinematik yang ditawarkan sebuah film.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.