Di tengah tarik menarik dan riuhnya Spider-Man versi Sony (SSU) dan Marvel Studios (MCU), Sony rupanya masih cukup percaya diri untuk memproduksi sekuel kedua Venom. Venom: The Last Dance konon merupakan seri penutup yang diarahkan oleh Kelly Marcel yang juga menulis naskah Venom: Let There Be Carnage. Sekuelnya ini masih pula dibintangi Tom Hardy dengan beberapa pendatang baru, seperti Chiwetel Ejiofor, Juno Temple, Rhys Ifans, Alanna Ubach, dan Stephen Graham. Dengan bujet USD 120 juta, mampukah film penutup ini bersaing secara komersial dengan dua seri sebelumnya?

Sejak peristiwa lalu, Eddie Brock (Hardy) bersama sobat setianya, Venom, menjadi buron dan mengisolasi diri di wilayah Meksiko. Nun jauh di sana, sosok jahat bernama Knull membutuhkan codec Venom untuk bisa membebaskan dirinya dan berniat menghancurkan seluruh semesta. Knull pun mengutus para monster bawahannya untuk mencari Venom. Eddie yang lelah di tempat pelariannya akhirnya berniat menuju Kota New York. Situasi semakin memanas, ketika pihak pemerintah yang dikomandoi Jenderal Stricland (Ejiofor) bersama ilmuwan Dr. Payne (Temple) telah mendapatkan semua sampel symbiote alien, kini pun mengincar Venom. Mau tak mau, Eddie harus berhadapan dengan dua pihak yang sama-sama menginginkan Venom.

Bagi penikmat dan fans seri Venom rasanya sulit untuk tidak menyukai film ini. Gaya humor melalui dialog dan aksi-aksi “symbiote”nya yang khas memang menjadi pembeda dengan film-film “superhero” lainnya. Sisi aksi pada separuh durasi awal, tak banyak jauh berbeda dengan dua seri sebelumnya. Namun, terdapat beberapa momen yang memiliki sentuhan berbeda dari sebelumnya. Salah satunya adalah kehadiran satu keluarga, Martin bersama istri dan dua anakya. Ditambah iringan nomor-nomor lagu lawas manis, memberi nuansa hangat yang tak pernah kita rasakan pada seri Venom sebelumnya. Satu momen lagi adalah babak ketiga yang didominasi aksi hingar bingar yang lumayan menghibur antara para symbiote versus para monster Knull. Aksi klimaks ini jauh lebih memberi kesan ketimbang dua film sebelumnya.

Baca Juga  The King's Man

Seperti seri sebelumnya, Venom The Last Dance, sebagai konklusi tidak banyak memberikan tawaran baru selain segelintir momen dramatik. Rasanya mustahil, kisah Eddie Brock bakal ditutup begitu saja, terlebih jika film ini sukses komersial. Rumor tentang kemunculan Spider-Man juga begitu santer sebelum rilis film ini, walau ini jelas tak mungkin terjadi jika tidak bersama Marvel Studios (MCU). Belum lagi beberapa karakter supervillain lainnya yang sudah eksis di semestanya, yakni Vulture, Morbius, (Madame Web?), hingga Kraven the Hunter yang akan rilis dalam waktu dekat. Lantas mau dikemanakan semua karakter ini? Sony akan mencampakkannya begitu saja? Kita tunggu saja.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
50 %
Artikel SebelumnyaWoman of the Hour
Artikel BerikutnyaMy Annoying Brother
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). A lifelong cinephile, he developed a profound passion for film from an early age. After completing his studies in architecture, he embarked on an independent journey exploring film theory and history. His enthusiasm for cinema took tangible form in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience eventually led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched students’ understanding through courses such as Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended well beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, Understanding Film, an in-depth examination of the essential elements of cinema, both narrative and visual. The book’s enduring significance is reflected in its second edition, released in 2018, which has since become a cornerstone reference for film and communication scholars across Indonesia. His contributions to the field also encompass collaborative and editorial efforts. He participated in the compilation of Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1–3 and 30 Best-Selling Indonesian Films 2012–2018. Further establishing his authority, he authored Horror Film Book: From Caligari to Hereditary (2023) and Indonesian Horror Film: Rising from the Grave (2023). His passion for cinema remains as vibrant as ever. He continues to offer insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com while actively engaging in film production with the Montase Film Community. His short films have received critical acclaim at numerous festivals, both nationally and internationally. In recognition of his outstanding contribution to film criticism, his writing was shortlisted for years in a row for Best Film Criticism at the 2021-2024 Indonesian Film Festival. His dedication to the discipline endures, as he currently serves as a practitioner-lecturer in Film Criticism and Film Theory at the Indonesian Institute of the Arts Yogyakarta, under the Independent Practitioner Program from 2022-2024.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses