Sutradara: Paul McGuigan
Produser: John Davis
Penulis Naskah: Max Landis
Pemain: Daniel Redcliffe/James McAvoy/Jessica Brown Findlay/Andrew Scott
Sinematografi: Fabian Wagner
Editing: Andrew Hulme
Ilustrasi Musik: Craig Amstrong
Studio: Davis Entertainment Company/TSG Entertainment
Distributor: 20th Century Fox
Durasi: 110 menit
Bujet: US$ 40 juta
Tokoh Frankenstein yang diadaptasi dari novel klasik karya Marry Shelley, telah menjadi ikon sinema sejak era klasik dan telah produksi puluhan filmnya hingga kini dalam berbagai versi. Tercatat hingga kini film klasik, Frankenstein (1931) garapan James Whale masih dianggap yang terbaik bersama aktor legendaris pemeran sang monster, Boris Karloff. Victor Frankenstein mencoba menawarkan kembali kisah klasik ini melalui sudut pandang penceritaan yang berbeda dari sudut pandang Igor (Redcliffe). Setelah dibebaskan dari cengkraman pertunjukan sirkus oleh Victor, Igor menjadi asisten pribadi sang ilmuwan. Ambisis victor adalah menghidupkan jasad atau organ tubuh yang telah mati. Igor dari waktu ke waktu semakin menyadari jika tuannya telah menjadi buta akibat ambisinya.
Satu yang berbeda jelas adalah penuturannya kisahnya yang terpusat pada sosok Igor, kita semua tahu mengapa. Redcliffe diharapkan masih menjadi magnet pra remaja untuk menonton filmnya. Sekali pun begitu, fokus cerita pun cukup baik terbagi antara dua tokoh utamanya. Namun masalah bukan disini melainkan pada plot cerita yang kurang menarik, atau bisa dibilang sudah terlalu basi untuk penonton masa kini. “Kamu semua sudah tahu kisahnya” tutur Igor di awal film dan ini mencerminkan seluruh plotnya. Ini diperburuk pula dengan tempo filmnya yang lambat serta gaya teatrikal filmnya terutama dari sisi akting pemain semakin menambah kemasan keseluruhan seolah kita menonton pertunjukan opera yang panjang dan membosankan.
Di luar pencapaian setting yang menawan, Victor Frankenstein adalah sebuah percobaan kisah klasik yang gagal serta membuang begitu saja talenta para pemain bintangnya. Sulit memang mencoba mengangkat kisah klasik macam ini tanpa sesuatu yang sama sekali segar dan orisinil. Sentuhan realistik ketimbang teatrikal sepertinya bisa menambah unsur dramatik filmnya. Di era jaman gemerlap efek visual dan serba cepat macam sekarang sentuhan CGI bisa menjadi poin penting yang kurang bisa dimanfaatkan secara maksimal. Baik plot serta kemasan semuanya terasa serba tanggung dan sulit rasanya penonton masa kini bisa tertarik untuk menonton film ini.