WALL·E (2008)
98 min|Animation, Adventure, Family|29 Jun 2008
8.4Rating: 8.4 / 10 from 1,216,584 usersMetascore: 95
A robot who is responsible for cleaning a waste-covered Earth meets another robot and falls in love with her. Together, they set out on a journey that will alter the fate of mankind.

Pixar rupanya melanjutkan tradisi sukses baik kritik maupun komersil melalui film animasi terbaru mereka, Wall.E. Film ini diarahkan Andrew Stanton yang sebelumnya juga terlibat dalam produksi film-film animasi istimewa Pixar seperti Finding Nemo dan Ratatoullie. Satu hal yang tak lazim ketika menonton film ini di bioskop-bioskop kita adalah penggunaan dubbing Bahasa Indonesia untuk seluruh dialog dalam filmnya.

Kisah filmnya jauh berbeda dengan film-film produksi Pixar sebelumnya dengan mengambil latar cerita ratusan tahun dari masa sekarang. Alkisah umat manusia telah merusak bumi demikian dahsyatnya hingga tidak layak lagi untuk dihuni. Ribuan manusia bumi berimigrasi dan bermukim di luar angkasa dengan sebuah pesawat angkasa super modern bernama Axiom. Ratusan tahun kemudian bumi dikisahkan kosong-melompong, dipenuhi rongsokan sampah besi, serta puing-puing bangunan tanpa menyisakan satu manusia pun. Satu-satunya dinamika kehidupan masa lalu hanyalah sebuah robot pekerja bernama Wall.E. (singkatan: Waste Allocation Load Lifter Earth-Class) Sang robot mungil ini masih saja terus bekerja mengumpulkan serta memadatkan besi-besi rongsokan dan menyusunnya yang entah telah berapa lama ia lakukan. Suatu ketika pesawat asing datang ke bumi dan meninggalkan sebuah robot observasi modern bernama Eve. Wall.E yang kesepian berusaha menjalin hubungan persahabatan dengan sang robot dan “jatuh hati” padanya.

Tidak ada kata-kata lain selain “Wow…” menikmati segala suguhan yang ada di film ini. Secara visual, gambar (CGI) sepertinya jauh lebih halus dari film-film produksi Pixar sebelumnya. Setting kota (bumi) tempat sang robot kesepian yang terlantar ratusan tahun mampu digambarkan dengan sempurna sejak awal pembuka film, sangat kontras dengan suasana interior pesawat angkasa Axiom yang penuh warna, meriah, dan super modern dimana manusia dimanjakan (diperbudak) oleh para robot. Ceritanya sendiri mengingatkan pada film fiksi-ilmiah klasik, 2001: A Space Odyssey karya Stanley Kubrick dimana robot (Artificial Intelligence) akhirnya mengambil-alih kendali dari manusia. Beberapa unsur serta banyolan dalam banyak adegannya juga banyak diambil dari Space Oddysey, seperti sang robot jahat bermata merah, ilustrasi musik klasik The Blue Danube dan Sprach Zarathustra, serta adegan melayang-layang di luar angkasa.

Baca Juga  Raya and the Last Dragon

Seperti film-film produksi Pixar sebelumnya, Wall.E mampu memadukan unsur aksi, drama, roman, serta komedi dengan sangat sempurna. Semua orang dari segala usia dijamin akan mampu menikmati film yang sangat menghibur ini. Film animasi ini juga lebih dari sekedar film anak-anak. Nilai-nilai seperti rasa persahabatan, team-work, keberanian, serta semangat pantang-menyerah masih dominan, seperti halnya juga tampak dalam Toy Story, Monster Inc., Finding Nemo, The Incredible, hingga Ratatoullie. Namun sedikit berbeda, Wall.E sarat dengan pesan-pesan lingkungan hidup, “save earth for our future (children)”, betapa berharganya memelihara kehidupan walau sekecil apapun. Wall.E dan Eve juga bisa disimbolkan sebagai sosok Adam dan Hawa yang membawa awal kehidupan baru bagi umat manusia di bumi. Tidak perlu diragukan lagi, sejauh ini Wall.E merupakan kandidat terkuat peraih Oscar untuk film animasi terbaik tahun depan.

Sungguh sangat disayangkan satu hal yang merusak segala keindahan dalam film ini justru penggunaan dubbing Bahasa Indonesia. Walau nyaris tanpa dialog pada separuh cerita awal namun tidak demikian halnya pada separuh akhir cerita. Dubbing menyebabkan kita (saya setidaknya) tidak bisa “masuk” dalam dialog filmnya, karena terdapat rasa bahasa, intonasi, aksen yang berbeda dalam bahasa aslinya. Kita tidak bisa mendengar suara para aktor yang mengisi suara aslinya. Banyolan-banyolan barat yang terlontar rasanya menjadi aneh, seperti layaknya menonton kartun anak-anak di televisi. Oklah… boleh jadi film ini memang lebih ditujukan untuk anak-anak, but what about us… para pecinta film. Negara ini tidak memiliki tradisi dubbing layaknya beberapa negara di Eropa serta Asia lalu apa lantas penonton tidak memiliki hak untuk memilih. Agak sulit menilai film ini tanpa menggunakan bahasa aslinya, jujur saja, jika sejak awal tahu, saya tidak bakal menonton filmnya. Film ini begitu istimewa, alangkah baiknya jika Anda, para pecinta film, menonton dalam bahasa aslinya.

PENILAIAN KAMI
Overall
100 %
Artikel SebelumnyaThe Mummy: Tomb of the Dragon Emperor
Artikel BerikutnyaIsengnya Godard
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.