Warfare adalah film aksi perang yang diarahkan Ray Mendoza dan Alex Garland. Garland sendiri, tahun lalu sukses dengan film aksi perang saudara berkualitas, Civil War. Uniknya, naskah Warfare diambil dari pengalaman nyata Ray Mendoza (eks navy SEAL) dalam Perang Irak pada tahun 2006. Detil dan akurasi kisahnya pun diambil dari kesaksian dari para prajurit yang terlibat langsung dalam peristiwa tersebut. Film ini dibintangi  D’Pharaoh Woon-A-Tai, Will Poulter, Cosmo Jarvis, Kit Connor, Finn Bennett, Joseph Quinn, Charles Melton, Noah Centineo, dan Michael Gandolfini. Dengan sentuhan Garland dan Mendoza, akankah Warfare memberikan sesuatu yang baru bagi genrenya?

Pada satu momen dalam pertempuran di Ramadi (Perang Irak tahun 2006), satu tim elit Navy SEAL menduduki satu rumah warga secara paksa sebagai lokasi pengintaian dalam sebuah operasi besar militer tak jauh dari sana. Tim pimpinan Sersan Erik (Poulter) membawa satu tim lengkap, termasuk komunikasi, Mendoza (Woon-A-Tai) dan penembak jitu, Elliot (Jarvis). Entah bagaimana, lokasi mereka diketahui pihak musuh yang secara diam-diam telah mengepung posisi mereka. Baku tembak pun terjadi, dan tim meminta bantuan pusat untuk menjemput mereka. Namun, kendaraan berat yang menjemput mendadak dibom ketika akan mengangkut mereka. Satu diantara mereka tewas, dan dua orang terluka parah, Elliot dan Sam (Quinn). Mereka dipaksa kembali masuk ke dalam rumah untuk berlindung dan bertahan hidup hingga bantuan kembali datang.

Satu alasan utama yang membuat Warfare menarik untuk dicermati adalah sineasnya, Alex Garland. Melalui isu dan pesan kisahnya, Civil War adalah salah satu film perang terbaik yang menampilkan aksi pertempuran begitu otentik. Ray Mendoza rupanya telah terlibat di dalam produksinya dengan menjadi instruktur dan penasihat untuk segmen aksinya. Tak mengherankan, jika kini ia mendampingi Garland di kursi sutradara untuk menampilkan kisah pengalamannya sendiri di masa karir militernya. Bisa jadi ini adalah untuk pertama kalinya, seorang marinir mengarahkan kisahnya sendiri. Hasilnya, terbukti luar biasa.

Plot Warfare ringkas dan sederhana, serta berjalan nonstop nyaris tanpa jeda sepanjang durasinya. Satu kekuatan visual terbesarnya adalah lokasi satu set perumahan warga yang tampak otentik, menjadi pusat lokasi pertempuran selama plot berjalan. Kolaborasi Garland dan Mendoza berbuah manis dengan aksi-aksi pertempuran yang lagi-lagi begitu otentik, bak kita sungguh-sungguh hadir di medan lokasi. Suara desing peluru, bom yang meledak, pesawat jet yang melintas, hingga selipan keheningan di momen pertempuran sengit mampu menyajikan kengerian maksimal bagi penonton. Mendoza dengan bekal pengalamannya mampu memindah suasana pertempuran ke dalam set dengan sisi realisme yang jarang dicapai film-film sejenis lainnya. Warfare bisa jadi adalah salah satu pencapaian segmen aksi perang terbaik yang pernah diproduksi. Sayangnya, dari perspektif berbeda ini seolah tak berarti banyak.

Baca Juga  Settlers

Apa masalahnya?

Pada penghujung adegan, sesaat para marinir akan meninggalkan lokasi tersaji sebuah adegan menyentuh. Seorang perempuan pemilik rumah yang selama kejadian berlangsung di-“sekap” di sebuah kamar bersama suami dan putrinya, berteriak keras pada mereka, sambil berkata WHY.. WHY…?”. Pertanyaan yang sama mungkin muncul di benak penonton, setidaknya saya. Dengan segala unjuk kehebatan visual dan kisah kepahlawanan para marinir yang bertempur mati-matian untuk menolong rekan mereka, semuanya berujung pada pertanyaan yang sama. Coba bayangkan melalui perspektif berbeda, tidakkah kamu berempati dengan mereka?

Di luar otentisme visual serta pesan tentang keberanian dan patriotisme, Warfare adalah satu tontonan “melelahkan” di tengah situasi global yang kini tengah membara dan selama ini AS selalu ada di tengah-tengahnya. Tak ada keraguan, Garland dengan bantuan Mendoza di lapangan, mampu menyajikan sisi aksi dan ketegangan dengan amat gemilang. Tetapi untuk apa unjuk sisi kepahlawanan jika alasan mereka di sana sudah banyak dipertanyakan? Hollywood selama ini dominan memproduksi film-film bertema senada dengan bobot toleransi, humanisme, dan pesan anti-war kuat, sebut saja Green Zone, Lone Survivor, Eye in the Sky, The Covenant, termasuk pula Civil War. Nyawa manusia tidak bisa diukur dengan apa pun, dan Warfare telah menyajikan dengan gaya visual berkualitas tinggi dan berkelas melalui perspektif marinir AS. Namun bagaimana dengan nyawa serta trauma jutaan korban tak berdosa lainnya? Semoga ini bisa menjadi bahan renungan.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
60 %
Artikel SebelumnyaFinal Destination: Bloodlines | REVIEW
Artikel Berikutnya“Turang”: Sebuah Karya Sinema Kiri yang Menggugah
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses