Di sela-sela kesibukannya setelah acara JAFF 2009, tim reportase montase berhasil mewawancarai salah satu sineas besar kita, yakni Garin Nugroho. Dalam wawancara ini kami meminta tanggapan beliau mengenai industri film kita saat ini, haparan, sikap, serta visi dari karya-karyanya.

Bagaimana tanggapan Mas Garin mengenai industri film kita saat ini?

Industri film kita saat ini naik turun. Naiknya cepat, turunnya juga cepat. Seperti halnya kondisi politik di negara kita, politikusnya banyak namun negarawannya sedikit. Di dunia film juga sama, sineas kita jumlahnya banyak namun sineas yang berkualitas, yang memiliki sikap dan visi ke depan sangat sedikit.

Industri film kita yang ideal menurut Mas Garin seperti apa?

Seharusnya produksi film kita seimbang. Misalnya saja, dua puluh persen untuk film-film seni, empat puluh persen untuk film kualitas menengah yang bagus dan bersahaja, lalu empat puluh persen sisanya adalah film-film kualitas rendah seperti film-film horor kita kebanyakan. Kondisi perfilman kita saat ini justru terbalik, sebagian besar film-film kita berkualitas rendah sementara film-film seni kurang dari lima persen. Akhirnya pertumbuhan dan kualitasnya tidak baik (tidak seimbang).

Komentar tentang film-film Mas Garin sendiri?

Coba Anda lihat film-film saya, semakin tahun Anda akan semakin mengerti manfaatnya. Coba Anda lihat film-film saya sepuluh tahun lagi, Anda akan menemukan warisan yang luar biasa terhadap sinema Indonesia. Coba Anda tonton Opera Jawa. Di film ini terdapat karya-karya seniman-seniman besar, serta para penari sukses kita yanga telah melanglang buana sejak lama. Coba Anda lihat Surat untuk Bidadari, semakin ditonton semakin bagus dan semakin aktual. Ini menunjukkan bahwa film saya memiliki peran-peran tersendiri. Mungkin ini (kesimpulan) terlalu cepat tetapi saya pikir tidak. Dulu saya pernah mengatakan film dokumenter akan menjadi bisnis bagi industri televisi. Sewaktu saya membuat Anak Seribu Pulau, siapa percaya waktu itu jika dokumenter bisa menjadi bisnis? Waktu saya membuat Puisi Tak Terkuburkan, saya mengatakan blow-up (format video ke film) akan menjadi ciri film Indonesia dengan biaya 1,5 milyar (minim). Saya adalah orang pertama yang membuat film dengan format ini dan sekarang semua menggunakan format video. Film-film saya, pertama, adalah penemuannya (pelopor), kedua mengambil sesuatu yang secara umum tidak diambil orang, baik tema, tempat, kisah, konflik dan sebagainya, karena menurut saya, diperlukan tontonan alternatif bagi masyarakat (penonton film).

Baca Juga  Islam Mainstream Kini?

Pesan-pesan Mas Garin untuk generasi muda kita?

Belajar yang banyak dari film dan banyak membaca buku. Seperti di JAFF ada film tentang (budaya) hip hop di Paslestina, ada film tentang kambing yang hilang dari sebuah keluarga yang sangat mencintai kambing tersebut, karena kambing dianggap sebagai sesuatu yang berharga, ada kisah tentang seseorang yang kembali ke tanah (air) yang bukan tanahnya lagi. Banyak sekali kisah-kisah di sekitar kita yang bisa dijadikan sumber cerita. Bagaimana mengolah sumber-sumber (cerita) tersebut dengan ketrampilan dan pengetahuan (yang kita miliki) menjadi sebuah karya yang bagus. Ada banyak begitu kesempatan. Semuanya tergantung dari pengetahuan, ketrampilan, dan etos kerja.

Febrian Andhika
Agustinis Dwi Nugroho

Artikel SebelumnyaBabi Buta yang Ingin Terbang
Artikel BerikutnyaLaporan 4th Jogja NETPAC Asian Film Festival
Febrian Andhika lahir di Nganjuk, 18 Februari 1987. Ia mulai serius mendalam film sejak kuliah di Akademi Film di Yogyakarta. Sejak tahun 2008, ia bergabung bersama Komunitas Film Montase, dan aktif menulis ulasan film untuk Buletin Montase hingga kini montasefilm.com. Ia terlibat dalam semua produksi awal film-film pendek Montase Productions, seperti Grabag, Labirin, 05:55, Superboy, hingga Journey to the Darkness. Superboy (2014) adalah film debut sutradaranya bersama Montase Productions yang meraih naskah dan tata suara terbaik di Ajang Festival Film Indie Yogyakarta 2014, dan menjadi runner up di ajang Festival Video Edukasi 2014. Sejak tahun 2013 bekerja di stasiun TV swasta MNC TV, dan tahun 2015 menjadi editor di stasiun TV Swasta, Metro TV. Di sela kesibukan pekerjaannya, ia menyempatkan untuk menggarap, The Letter (2016), yang merupakan film keduanya bersama Montase Productions. Film ini menjadi finalis dalam ajang Festival Sinema Australia Indonesia 2018.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.