We Live in Time adalah film drama-roman arahan John Crawley yang juga dikenal sebagai sutradara panggung serta menggarap film drama berkualitas Brooklyn (2015) yang dipuji banyak pengamat dengan puluhan penghargaan festivalnya. Naskahnya juga digarap oleh penulis teater kondang, Nick Payne. We Live in Time dibintangi dua bintang ternama, Andrew Garfield dan Florence Pugh. Bermodal sang sineas dan dua bintang besarnya, ekspektasi tentunya wajar jika tinggi, walau fakta berkata sebaliknya.

Tobias (Garfield) bertemu dengan seorang perempuan muda bernama Almut (Pugh) dengan cara unik. Mobil yang dikendarai Almut secara tak sengaja menabrak Tobias. Hubungan antar kedua sejoli ini lantas berlanjut menjadi semakin intim hingga menjalin hubungan asmara. Film ini mengisahkan suka duka kehidupan mereka, dari masa ke masa hingga mereka memiliki seorang putri, serta khususnya Almut yang mendapat cobaan berat dengan penyakit kanker yang dideritanya.

Apa yang istimewa dari kisah film ini? Tidak ada. Boleh dibilang, sudah banyak film lain yang jauh lebih menggigit dan membekas. Plotnya pun tak sulit untuk diantisipasi. Namun, satu hal menarik adalah penuturan nonliniernya. Plotnya dibagi menjadi dua segmen besar, yakni hubungan Almut dan Tobias sejak mereka bertemu hingga mereka melahirkan putri mereka, serta perjalanan kehidupan Almut dan Tobias bersama putri cilik mereka. Kedua segmen ini secara silih berganti disajikan melalui momen-momen dramatik di sela-selanya.

Penuturan nonlinier senada tampak pula dalam Blue Valentine (2010) yang secara rapi menyajikan dua segmen berurutan, sejak dua protagonis bertemu hingga mereka menikah, dan kehidupan pernikahan mereka hingga berpisah. Motif nonlinier dalam Blue Valentine secara kuat terlihat pada momen ending-nya. Sementara We Live in Time, selain style tak ada motif yang bisa dirasakan. Banyak momennya justru terasa repetitif dan kadang menjenuhkan, serta mudah terantisipasi. Lantas apa bedanya jika kisahnya dituturkan secara linier? Blue Valentine bisa menggambarkan motifnya dengan sempurna melalui ending yang amat powerful.

Kita semua tahu, dua pemain bintangnya, Garfield dan Pugh adalah aktor dan aktris berkelas. Dalam film ini, keduanya bermain maksimal, namun tak banyak bisa yang mereka tawarkan. Performa keduanya sesuai tuntutan naskahnya adalah masih jauh di bawah kekuatan akting maksimal mereka. Simak saja, penampilan Pugh di Little Woman serta Oppenheimer, serta Garfield di Social Network dan Tick, Tickā€¦ Boom! Jika dibandingkan dengan Blue Valentine pun, Pugh dan Garfield bermain jauh di bawah performa akting Michele Williams dan Ryan Gosling.

Baca Juga  Influencer

We Live in Time menyajikan tipikal drama-roman kehidupan yang dikemas berbeda hanya melalui cara bertutur serta mengkasting dua bintang besarnya. Bagi fans drama-roman dan kedua bintangnya, film ini jelas sayang untuk dilewatkan. Namun bagi pecinta film yang mencari sesuatu yang lebih, mungkin bisa dinantikan rilis digitalnya. Bagi yang ingin menonton film senada yang jauh lebih berkualitas, Blue Valentine bisa dijadikan rujukan utama. Menonton ulang pun juga bukan merupakan ide yang buruk.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
60 %
Artikel SebelumnyaHidup ini Terlalu Banyak Kamu
Artikel BerikutnyaMoana 2
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.