Jakarta – Musik dalam sebuah film bukan sekadar pelengkap yang asal bunyi. Musik mempunyai peranan strategis pada apa pun genre film yang membungkusnya. Emosi yang dibangun dalam film melalui musik akan membawa perasaan penonton lebih dalam dan berkesan.
Di luar soal itu, musik dalam film sesungguhnya bisa menjadi penanda geografis dari daerah mana cerita film itu berasal. Demikian dikatakan oleh Rako Prijanto, sutradara film dan penulis naskah, dalam webinar bertajuk “Peran Musik dalam Film” yang digelar oleh Panitia Festival Film Wartawan Indonesia (FFWI) XIII di Jakarta, Sabtu, 15 Juli 2023.
Selain Rako Prijanto sebagai narasumber, hadir pula ilustrator musik sekaligus sutradara dan penyanyi, Tya Subiakto, di samping Irish Riswoyo dan Retno Hermawati sebagai moderator. Rako Prijanto yang pernah menyutradarai film “Sang Kyai” mengatakan, musik dalam film sejatinya dibagi dua: yakni musik scoring yang memberi irama musik sebagai latar belakang dan original soundtrack.
Scoring dan soundtrack sangat efektif dalam menyampaikan apa yang ingin dirasakan oleh film itu. ”Jadi, musik sangat membantu setiap scene agar cerita sampai ke perasaan penonton,” ujar sutradara berusia 50 tahun yang pernah meraih Piala Maya 2016.
Menurut Rako, theme song dalam sebuah film juga dapat menjadi karakter film tersebut. Misalnya, jika tiba-tiba mendengar sebuah nada, maka langsung bisa tahu nada itu merupakan ciri khas dari film Indiana Jones, Superman, atau Star Wars. ”Intinya musik dalam film peranannya penting, dan tidak bisa dipisahkan dalam sebuah cerita,” tegas Rako.
Pada kesempatan itu, Rako menjelaskan pula seandainya dalam satu produksi film bergenre thriller, ada satu scene yang menggambarkan romance. ”Maka tidak bisa warna musik scoring-nya mendadak berubah jadi romance. Memang perlu ada warna romance, tetapi tetap harus ada unsur thriller-nya,” jelas Rako lagi.
Dalam akhir penjelasannya, Rako mengatakan bahwa muatan musik atau scoring musik diselaraskan dengan durasi film, dan yang terpenting sejauh mana keperluannya. ”Kalau terlalu banyak, apalagi penempatan tidak tepat, pasti akan mengganggu perasaan penonton,” katanya.
Rako mengingatkan, film berbeda dengan opera atau kabaret yang membutuhan latar belakang musik dari depan sampai belakang. “Dalam film, terkadang ada bagian tertentu yang memang harus di-mute. Kalau tidak, nanti grafik emosi penonton malah bisa terlalu lelah,” katanya.
Wajib Belajar Sejarah Musik
Sementara itu, musisi Tya Subiakto mengatakan seseorang yang ditunjuk sebagai penata musik, mempunyai kesepakatan dengan dua orang, yakni produser dan sutradara. “Karena mereka yang tahu karakter cerita, bagaimana alur dan konklusi filmnya,” kata Tya yang pernah menata musik untuk lebih dari 60 judul film, di antaranya Ayat-Ayat Cinta, Habibie & Ainun, Sang Pencerah, dan lain-lain.
Bila seseorang tertarik menjadi penata musik, kata Tya, sebaiknya dibekali dengan ilmu yang lain seperti fotografi, agar paham sudut pandang dan bahasa yang kerap dipakai oleh sutradara.
“Di samping itu perlu juga membekali diri dengan pengetahuan tentang skenario film, meski tidak perlu mendalam. Karena di setiap skenario terdiri dari tiga babak atau delapan sekuens. Dari sana kita bisa mengatur musiknya. Misalkan, di bagian opening tidak terlalu tinggi, atau tidak mewah,” ungkap Tya yang mengawali karier lewat film Sang Dewi (2007).
Satu hal lagi, kata Tya, seorang ilustrator musik harus paham tentang sejarah musik. Misalnya, dalam menggarap tema cerita tahun 1920, harus paham pada zaman itu musik apa yang sedang berkembang. “Misalnya musik jazz, harus dipertajam lagi, era itu apa yang sedang hits. Apakah Dixie atau apa? Jangan sampai salah. Bisa-bisa diketawain penonton yang tahu sejarah!” ungkap Tya yang memenangkan Ilustrator Terbaik dalam Festival Film Bandung lewat Ayat-Ayat Cinta (2008) dan Sang Pencerah (2011).
Tya mengaku masih sering menghadapi alasan klasik tentang bujet produksi film yang terbatas, tetapi produser menginginkan musik filmnya digarap megah menggunakan orkestra. Kemudian mengusulkan untuk menggunakan digital music orchestra.
Menurut Tya hal itu tidak masalah. “Sepanjang kita menguasai digital musik orchestra seperti apa. Dan saya tidak mau menggarapnya hanya menggunakan satu keyboard. Tetap harus belajar prinsip orkestra, bahwa dalam keluarga string section, misalnya, harus lengkap ada violin, viola, cello, contra bass,” ungkap Tya yang mengaku tantangan terberat sebagai ilustrator adalah terbatasnya waktu pengerjaan alias deadline.
Dalam pengamatan Tya, bila seseorang mengaku telah menjadi penata musik profesional, maka ia harus bisa menjaga profesionalisme dengan cara membuat musik karya sendiri. “Profesional itu juga termasuk tidak mengambil musik orang lain dan tidak menggunakan template dari musik orang lain!” tandas Tya.
Narahubung:
Nini Sunny 0818924720
Didang Sasmita 08176614974