Hari Jumat, tanggal 16 September 2022 menjadi kesempatan untuk mendiskusikan lebih panjang, keberadaan unsur nasionalisme dalam sebuah film, melalui penampilan “Sayap-Sayap Patah”. Sukses film “Sayap-Sayap Patah” yang meraih penonton lebih dari 2 juta sama sekali tak diduga oleh Produser Eksekutifnya sendiri, Denny Siregar. Tokoh yang selama ini dikenal pula sebagai aktivis sosial media dan penulis.
Menurut Denny, film “Sayap-Sayap Patah” yang mengangkat kisah drama fiksi, berdasarkan peristiwa kerusuhan di Mako Brimob pada 2018 dan menewaskan 5 anggota Densus 88 tersebut, sempat diprediksi akan gagal oleh beberapa kalangan. Apalagi jadwal tayangnya bersamaan dengan meledaknya kasus Ferdy Sambo.
“Mendadak kasus itu (Ferdy Sambo) meledak, dan membuat orang berpikir film ini akan flop di awal,” ungkap Denny Siregar dalam Webinar: Nasionalisme dan Film yang diselenggarakan Festival Film Wartawan Indonesia (FFWI) ke XII, pada tanggal 16 September 2022 lalu.
Diakui Denny, perkiraan banyak orang tersebut hampir betul. “Karena di hari pertama ditayangkan, ‘Sayap-Sayap Patah’ hanya ditonton 14.000 orang, kemudian naik secara perlahan ke angka 46.000 dan selanjutnya bergerak sampai 2 juta lebih,” ungkap Denny.
Denny mengaku tidak punya dana promosi besar untuk filmnya. Sukses film ini disebut oleh Denny bukan semata-mata karena akting Nicholas Saputra dan Ariel Tatum, melainkan karena digerakkan oleh posting-an warganet yang mendadak viral lewat platform TikTok.
“Ada netizen yang mengunggah ending adegan dia menangis saat menonton film ini ke TikTok. Itulah yang membuat masyarakat penasaran, kemudian ingin menangis berjamaah di bioskop lewat ‘Sayap-Sayap Patah’,” ujar Denny.
Film “Sayap-Sayap Patah” kata Denny dirancang mengangkat kisah tentang manusia, dikonsep sebagai film drama romatis. Ada aksi, tetapi hanya sebagai bumbu dan ada pemain yang namanya terkenal dan disukai penonton. Denny mengingat film sejenis “Mumbai” dan “Die Hard”, yang berkisah tentang polisi ditembak teroris dan meraih sukses.
“Namun di ‘Sayap-Sayap Patah’, saya tidak membuat film nasionalisme. Saya hanya ingin membuat film yang mengangkat kisah orang yang telah berjasa untuk negara. Ada orang-orang yang sebetulnya sangat layak untuk kita hargai. Dan pikiran kami kemudian terpusat pada peristiwa Mako Brimob!” kata Denny Siregar yang berharap tragedi tersebut tetap diingat sebagai sejarah.
“Sayap-Sayap Patah“ adalah film drama yang sangat entertaint, tetapi tidak meninggalkan sisi cinta pada negara. “Ada kisah polisi yang kalah, bahkan ada korban di Mako Brimop!” ujar Denny yang muncul sebagai pembicara dalam Webinar FFWI ini, bersama Zinggara Hidayat (penulis buku Jejak Usmar Ismail) dengan moderator wartawan senior, Rita Sri Hastuti.
Edi Suwardi, Ketua Tim Pokja Alif Direktorat Perfilman, Musik, dan Media (PMM) Kemendikbud Ristek RI yang mendukung acara ini, dalam sambutannya menyebut, pada zaman dulu, kata nasionalisme dianggap berat dan sulit diterjemahkan dalam cerita dan gambar.
“Ada kesan, kata itu akan memunculkan karya serius, cenderung kaku dan tidak bakalan laku untuk dinikmati penonton,” ujar Edi.
Sebagai sebuah seni, lanjut Edi, kita tahu film tidak hanya digunakan sebagai tontonan.
“Fungsi dan esensi film telah berkembang menjadi media seni yang mampu mentransformasi nilai-nilai kemanusiaan, religi, pendidikan, hingga tentang nasionalisme yang bisa menjadi tuntunan, sekaligus menjadi tontonan yang laku untuk dinikmati penonton. Tema nasionalisme bisa mencair dalam cerita yang memuat pesan baik, seperti rela berkorban, menjunjung tinggi persatuan, mau saling bekerja sama, mau saling menghormati dan menghargai perbedaan, sekaligus selalu bangga menjadi warga negara Indonesia,” ungkap Eddy.
Sementara itu Zinggara Hidayat, penulis buku Jejak Usmar Ismail menyebut, nasionalisme dalam film memang tidak diartikan kaku hanya memperlihatkan perlawanan terhadap kolonial, munculnya uniform (seragam) dan bendera. Zaman berubah, dan ada pula pergeseran pengertian nasionalisme.
“Lebih jauh nasionalisme itu bisa terlihat dari termuatnya dimesi kultural dengan cara yang soft. Karena itu perlu penulis skenario yang cerdas. Idenya harus luar biasa. Dan di dalamnya ada improvisasi,” kata Zinggara.
Ia mencontohkan nasionalisme zaman dulu dalam film “Tiga Dara” karya Usmar Ismail dengan naskah yang ditulis M. Alwi Dahlan, misalnya.
“Di sana diperlihatkan gaya dansa-dansi, beragam warna musik, fashion dari kebaya hingga baju modern, makanan cemilan, bahkan juga motor skuter yang dipakai oleh pemain. Dimensi kulturalnya masuk semua.”
Sementara itu untuk menampilkan nasionalisme pada zaman kini bisa dimunculkan dalam berbagai hal. Selain soal budaya, fashion, jenis makanan tertentu, bisa pula memperlihatkan daerah tertentu dengan lebih detail.
“Misalnya jika lokasi syuting di Papua, bisa diperlihatkan bagaimana kondisi kantor Pemprov. Papua seperti apa,” ungkap Zinggar.
Nasionalisme, masih kata Zinggar, bisa berubah format dan berganti wajah, tetapi pada era globalisasi seperti sekarang ini nasioalisme lebih berkembang ke arah kolaborasi, “Bahwa kita sadar hidup sejajar dalam masyarakat global.”
“Apa yang bisa kita produksi di Indonesia, film misalnya. Bisa dikirim ke luar negeri atau ke negeri serumpun. Dengan menggunakan Bahasa Melayu maupun Bahasa Indonesia. Ini sebetulnya juga bagian dari nasionalisme tersebut.”
Lebih jauh Zinggara mengigatkan, penting untuk melihat dan belajar dari apa yang dilakukan Korea dengan industri keseniannya.
“Kita kenal Kimchi dari drama mereka, kita mendengar musik mereka. Pada zaman globalisasi seperti sekarang ini kolaborasi adalah keniscayaan yang tidak mungkin dihindari.”
Ketua Panitia FFWI, Wina Armada di ujung pertemuan menyebut, “’Sayap-Sayap Patah’ telah mematahkan mitos, bahwa film yang bersifat nasionalis dan berkaitan dengan kebangsaan, mampu laku untuk diserbu penonton. Dari sisi finasial, kalau dihitung ada 2 juta yang menonton ‘Sayap-Sayap Patah’, berarti produser minimal mengantongi Rp.40 M. Kita gembira, film yang mengadung nasionalisme, juga bisa menghasilkan angka yang menjanjikan.”*