Whiplash adalah sebuah film yang kisahnya didasarkan atas pengamalan pribadi sang sutradara. Damien Chazelle setengah mati mencari produser hingga ia terpaksa membuat “demo” versi pendeknya yang akhirnya menarik perhatian sewaktu diputar di Sundance Film Festival 2013, hingga akhirnya diproduksi versi panjangnya. Tak akan ada satu orang pun yang bakal menyangka jika film ini menjadi sebuah karya istimewa yang memenangkan lima puluh penghargaan lebih termasuk meraih 3 Piala Oscar.

Andrew Neiman (Teller) adalah pemuda yang memiliki ambisi menjadi seorang drummer seperti idolanya, Buddy Rich. Terence Fletcher (J.K. Simmons), pengajar sekaligus konduktor legendaris di sekolah musik tersebut secara tak sengaja melihat potensi Andrew dan mengajaknya berlatih bersama tim senior untuk ikut lomba regional. Flecther memiliki metode mengajar yang sangat keras dan disiplin tinggi untuk memotivasi anak didiknya menjadi yang terbaik. Andrew ditekan sedemikian rupa oleh Fletcher hingga melewati batas-batas kewajaran namun ia tak pernah menyerah. Inti kisahnya sederhana sekali dan hampir 75% adegan dalam filmnya berada di dalam ruang atau gedung musik. Alur kisah pun berjalan hanya didominasi dua orang saja, Andrew dan Fletcher.

Sekalipun minimalis dalam aspek naratifnya namun kekuatan cerita dikemas secara baik melalui tangga dramatik yang intens. Penonton tidak merasa bosan sekalipun adegan berlangsung di tempat itu-itu saja. Boleh jadi kisah sejenis memang sudah banyak namun yang membuat film ini istimewa salah satunya adalah pencapaian akting para pemain khususnya, J.K Simmos yang bermain bak monster buas sebagai Terence Flecther. Aura magis Simmons sudah bisa kita rasakan sejak adegan pembuka filmnya. Sementara Miles Teller pun tidak bermain buruk sebagai Andrew yang ambisius sekaligus mampu tampil memelas. Keduanya memiliki sebuah ikatan kuat antara guru dan murid, dan hubungan yang aneh antara rasa kagum dan benci.

Baca Juga  The Sea Beast

Sisi pencapaian sinematiknya juga tidak kalah istimewa. Dominasi musik dalam filmnya khususnya tabuhan drum memberi aba-aba yang sempurna bagi teknik sinematografi dan editing. Permainan gerak kamera yang dinamis dengan variasi shot dan sudut kamera dipadukan dengan teknik ritmik editing mengikuti hentakan musiknya menghasilkan sebuah sajian sekuen musikal yang luar biasa indah. Sejak awal pun gelagat pencapaian ini mulai tampak namun sekuen final di klimaks adalah fenomenal. Pencapaian dan harmonisasi semua unsur film bisa dilihat utuh dalam satu segmen ini. Sebuah pencapaian sinematik, khususnya teknik editing yang sangat jarang kita temukan dalam film.

Whiplash adalah satu contoh langka bagaimana cerita yang sederhana dikemas dalam sebuah pencapaian sinematik istimewa yang mampu memadukan keharmonisan unsur akting, musik, sinematografi, dan editing. Whiplash adalah tontonan wajib bagi para pecinta sinema untuk merasakan sebuah pengalaman sinematik yang luar biasa fantastik. Nominasi film terbaik untuk Whiplash di ajang Academy Awards juga membuka harapan bagi sinema independen bahwa film berbujet rendah masih mampu bersaing dengan film-film yang lebih mapan melalui pencapaian sinematik yang memukau.

MOVIE TRAILER

PENILAIAN KAMI
Overall
100 %
Artikel SebelumnyaThe Hunger Game: Catching Fire
Artikel BerikutnyaFurious 7
Hobinya menonton film sejak kecil dan mendalami teori dan sejarah film secara otodidak setelah lulus dari studi arsitektur. Ia mulai menulis artikel dan mengulas film sejak tahun 2006. Karena pengalamannya, penulis ditarik menjadi staf pengajar di Akademi Televisi dan Film swasta di Yogyakarta untuk mengajar Sejarah Film, Pengantar Seni Film, dan Teori Film sejak tahun 2003 hingga tahun 2019. Buku film debutnya adalah Memahami Film (2008) yang memilah seni film sebagai naratif dan sinematik. Buku edisi kedua Memahami Film terbit pada tahun 2018. Buku ini menjadi referensi favorit bagi para akademisi film dan komunikasi di seluruh Indonesia. Ia juga terlibat dalam penulisan Buku Kompilasi Buletin Film Montase Vol. 1-3 serta 30 Film Indonesia Terlaris 2012-2018. Ia juga menulis Buku Film Horor: Dari Caligari ke Hereditary (2023) serta Film Horor Indonesia: Bangkit Dari Kubur (2023). Hingga kini, ia masih menulis ulasan film-film terbaru di montasefilm.com dan terlibat dalam semua produksi film di Komunitas Film Montase. Film- film pendek arahannya banyak mendapat apresiasi tinggi di banyak festival, baik lokal maupun internasional. Baru lalu, tulisannya masuk dalam shortlist (15 besar) Kritik Film Terbaik dalam Festival Film Indonesia 2022. Sejak tahun 2022 hingga kini, ia juga menjadi pengajar praktisi untuk Mata Kuliah Kritik Film dan Teori Film di Institut Seni Indonesia Yogyakarta dalam Program Praktisi Mandiri.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.