Wicked (2024)
160 min|Fantasy, Musical, Romance|22 Nov 2024
Rating: Metascore: N/A
Elphaba, a misunderstood young woman because of her green skin, and Glinda, a popular girl, become friends at Shiz University in the Land of Oz. After an encounter with the Wonderful Wizard of Oz, their friendship reaches a crossr...

Wicked (Part One) adalah film fantasi musikal arahan John M. Chu. Film ini diadaptasi dari pertunjukan teater populer bertajuk sama karya Stephen Schwartz dan Winnie Holzman yang diadaptasi lepas dari novel Wicked: The Life and Times of the Wicked Witch of the West (2015) karya Gregory Maguire. Novel ini pun sesungguhnya dikembangkan dari novel klasik karya L. Frank Baum, The Wonderful Wizard of Oz (1900) yang mengilhami film klasik masterpiece, The Wizard of Oz (1939). Cukup rumit bukan adaptasinya?

Wicked dibagi menjadi dua bagian yang kelak lanjutannya dirilis tahun depan di bulan yang sama. Adapun beberapa pemain bintang, turut bermain di dalamnya, yakni Cynthia Erivo, Ariana Grande, Jonathan Bailey, Ethan Slater, Bowen Yang, Marissa Bode, Peter Dinklage, Michelle Yeoh, hingga Jeff Goldblum. Film ini diproduksi Universal Pictures dengan bujet sebesar USD 145 juta. Akankan popularitas pertunjukan teater dan film klasiknya mampu mengangkat film ini?

Kisah Wicked memang lebih mudah diikuti jika pernah menonton The Wizard of Oz (1939). Film musikal klasik ini berkisah tentang petualangan gadis remaja cilik bernama Dorothy di negeri fantasi Oz. Ditemani tiga sobatnya, mereka menuju Emerald City untuk bertemu sang penyihir agung yang bisa mengabulkan semua permohonan. Dalam kisahnya, Dorothy bersinggungan dengan sosok penyihir baik bernama Glinda dan penyihir jahat bernama The Wicked Wicth. Alur kisah Wicked, singkatnya adalah latar belakang dari kedua sosok penyihir tersebut yang dikisahkan dulunya bersahabat baik.

Galinda yang kelak berganti nama Glinda (Grande) dan Elphaba (Erivo) bersekolah di sekolah sihir Shiz University. Kontras dengan sosok Glinda yang jelita, Elphaba terlahir buruk rupa dengan kulitnya yang berwarna hijau, namun ia memiliki potensi kemampuan sihir yang hebat. Kisahnya menggambarkan perseteruan dan keseharian antara Glinda dan Elphaba, hingga kelak mereka berdua bersahabat baik. Tidak hingga, Elphaba dan Glinda akhirnya pergi ke Emerald City dan bertemu sang penyihir besar (Goldblum) di mana mereka menemukan segalanya ternyata adalah sebuah kebohongan besar yang ditutupi.

Plot utamanya sesungguhnya adalah kilas balik yang bertolak dari masa kini (cerita The Wizard of Oz). Kita pun secara sekilas bisa melihat Dorothy dan tiga rekannya berjalan menuju Emerald City. Hal ini sesungguhnya yang membuat plotnya menarik bagi fans film klasiknya. Bagi yang telah menonton versi klasiknya, bakal tahu persis posisi kisahnya ada di momen mana, yakni ketika The Wicked Witch dikabarkan telah tewas. Momen ini yang menjadi topik pembuka kisah The Wicked.

Saya belum pernah menonton versi teater The Wicked yang konon diadaptasi secara penuh dan loyal oleh sang sineas. Seberapa loyal? Tentu tidak bisa saya ukur, namun tidak untuk film versi klasiknya. Senada dengan film klasiknya, Wicked nyaris 50% adegannya merupakan segmen musikal. Bagi yang bukan penikmat genre musikal tentu bakal berjuang keras untuk tidak merasa bosan, terlebih durasi filmnya yang mencapai 160 menit. Jujur saja, film ini terasa melelahkan dalam beberapa momennya.

Baca Juga  Shadow in the Cloud

Semua segmen musikalnya disajikan secara apik dan dinamis dengan lantunan vokal merdu dari para kastingnya. Kita tahu persis sekarang motifnya, mengapa dua bintang utamanya adalah seorang penyanyi profesional. Untuk kemampuan akting mereka, Ariana Grande bisa diperdebatkan dengan penampilannya yang lebai dan tanpa emosi, sementara Erivo bermain lebih apik dan ekspresif. Penampilan akting Ariana banyak tertolong oleh segmen musikal di mana kemampuan vokalnya lebih unjuk gigi.

Mirip versi klasiknya, segmen musikalnya beberapa kali disajikan secara kolosal dengan puluhan bahkan ratusan figuran dengan desain artistik yang sangat menawan. Jika dibandingkan dengan Wonka, Wicked jauh lebih megah dan besar, namun kualitas lagu dan musiknya sepadan melalui beberapa nomor manis yang nyaman di telinga. Namun untuk efektivitas cerita, Wonka terasa lebih padat dan to the point, sementara Wicked agak terasa mengulur-ulur. Walau akhirnya kelemahan ini sedikit tertutup oleh segmen klimaksnya yang membahana. Wicked mampu memberi tendangan akhir yang begitu membekas dan bisa saya anggap sebagai salah satu yang terbaik untuk penokohan sosok antagonis.

Satu lagi kisah eksposisi tokoh antagonis, Wicked, dengan pengemasan kolosal dan musikal yang kelewat panjang, namun terangkat oleh segmen klimaksnya yang menggigit. Dalam gedung studio, saya melihat beberapa orang tua membawa putra-putri mereka, walau saya tak yakin mereka bakal mampu menikmati cerita filmnya. Motif karakter dan arah cerita bakal terasa membingungkan dan kompleks. Sulit untuk memahami kisah film ini secara utuh tanpa melihat versi klasiknya karena selipan segmen musikalnya membuat kontinuiti kisahnya kadang lepas dan kadang pula berganti mood cerita secara mendadak. Saran saya sebelum menonton film ini adalah tonton versi klasiknya. Kita juga masih harus bersabar menantikan kisah lanjutannya setahun lagi.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
70 %
Artikel SebelumnyaThe Penguin
Artikel BerikutnyaHeretic
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.