Another Full Scale Visual Effect



3 April 2012

Sutradara: Jonathan Liebesman
Produser: Basil Iwanyk / Polly Cohen Johnson
Penulis Naskah: Dan Mazeau / David Leslie Johnson
Pemain: Sam Warthington / Liam Nesson / Ralph Fiennes / Rosamund Pike / Bill Nighy
Sinematografi : Ben Davis
Editing: Martin Walsh
Ilustrasi Musik: Javier Navarrete
Studio:  Legendary Pictures
Distributor: CBS Films
Durasi: 99 menit
Bujet: $150 juta

         Sungguh mengherankan, mengapa para dewa di Yunani tidak pernah akur dan saling iri padahal mereka adalah sesama saudara. Konflik The Clash of the Titans, terjadi karena Hades tersinggung akibat Dewi Aphrodite dianggap tidak lebih cantik dari putri Andromeda. Kali ini Hades membuat masalah baru, ingin melepas ayahnya, sang monster, Kronos, yang dahulu kala mereka penjara dengan susah payah, hanya untuk membalas dendam karena ia dibuang Zeus menjadi penjaga neraka. Rasanya geli melihat para dewa bermain dengan egonya sendiri, terlebih lagi Ares, putra Zeus, yang selalu iri dengan Perseus, kini mengkhianati ayahnya sendiri. Mereka hanya membodohi sendiri dengan melakukan tindakan yang sangat konyol dan bahkan mereka sendiri tak tahu konsekuensinya. Ini semua adalah inti kisah Wrath of The Titans, bukan kisah tentang keberanian tapi kekonyolan.   

Cerita yang konyol untungnya tidak menular pada aspek efek visual yang menjadi menu utama filmnya. Efek visualnya sangat imaginatif, memukau dan menghebohkan hingga film bencana hebat seperti “2012” terlihat seperti “film anak-anak”. Setting yang demikian sulit dan berubah-ubah, seperti sekuen di labirin, mampu diperlihatkan dengan sangat meyakinkan. Setting di Tartarus dan monster Cyclops memang tampak artifisial namun sekuen klimaks mampu menebusnya. Rasanya belum pernah adegan “bencana besar” divisualisasikan begitu menakutkan seperti ini, ketika Kronos, ayah para dewa muncul. Secara umum dari sisi efek visual jelas jauh lebih mengesankan dari Clash of the Titans.

Dari aspek lain tak ada sama sekali yang ditawarkan. Akting tak ada yang istimewa akibat dialog yang nyaris seluruhnya kaku. Aktor senior, seperti Liam Nesson dan Ralph Fiennes tak banyak menolong. Rosamund Pike sebagai Andromeda kali ini hanya tampak sebagai pemanis dibandingkan peran karakter IO di Clash of the Titans. Lucunya sang sineas kembali menyindir karakter Bubo, si burung hantu mekanik sahabat Perseus di Clash of the Titans (1981), dengan dua kali memperlihatkan satu shot penuh.  Seperti film pertamanya, Wrath of the Titans semata-mata hanya menawarkan efek visual berskala besar yang gemerlap tanpa penonton harus berpikir panjang tentang kisahnya dan cukup nikmati saja filmnya. Its not that bad. (Score C+)
Artikel SebelumnyaThe Raid
Artikel BerikutnyaBattleship
Hobinya menonton film sejak kecil dan mendalami teori dan sejarah film secara otodidak setelah lulus dari studi arsitektur. Ia mulai menulis artikel dan mengulas film sejak tahun 2006. Karena pengalamannya, penulis ditarik menjadi staf pengajar di Akademi Televisi dan Film swasta di Yogyakarta untuk mengajar Sejarah Film, Pengantar Seni Film, dan Teori Film sejak tahun 2003 hingga tahun 2019. Buku film debutnya adalah Memahami Film (2008) yang memilah seni film sebagai naratif dan sinematik. Buku edisi kedua Memahami Film terbit pada tahun 2018. Buku ini menjadi referensi favorit bagi para akademisi film dan komunikasi di seluruh Indonesia. Ia juga terlibat dalam penulisan Buku Kompilasi Buletin Film Montase Vol. 1-3 serta 30 Film Indonesia Terlaris 2012-2018. Ia juga menulis Buku Film Horor: Dari Caligari ke Hereditary (2023) serta Film Horor Indonesia: Bangkit Dari Kubur (2023). Hingga kini, ia masih menulis ulasan film-film terbaru di montasefilm.com dan terlibat dalam semua produksi film di Komunitas Film Montase. Film- film pendek arahannya banyak mendapat apresiasi tinggi di banyak festival, baik lokal maupun internasional. Baru lalu, tulisannya masuk dalam shortlist (15 besar) Kritik Film Terbaik dalam Festival Film Indonesia 2022. Sejak tahun 2022 hingga kini, ia juga menjadi pengajar praktisi untuk Mata Kuliah Kritik Film dan Teori Film di Institut Seni Indonesia Yogyakarta dalam Program Praktisi Mandiri.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.