Lo beruntung soalnya anak orang kaya!

-Detektif Edo (Rangga Nattra, 2025)-

 

Saya cukup tergelitik dengan rilisnya film Keadilan (The Verdict), terutama karena duet pemeran utamanya adalah kombinasi maut antara Rio Dewanto dan Reza Rahadian. Dalam pikiran saya langsung terlintas, “wah, sepertinya menarik!”, terlebih setelah melihat cuplikan trailer-nya yang penuh tensi. Sayangnya, hari itu bertepatan dengan malam Anugerah Piala Citra 2025, dan sudah sangat larut jika harus memaksakan diri menonton. Maka, saya meminta maaf kepada pembaca karena harus menonton dan me-review film ini hampir sepekan setelah perilisannya pada 20 November 2025. Namun keterlambatan itu justru memberi jarak yang baik: saya bisa menonton tanpa distraksi hype awal, dan melihat sejelas apa film ini bekerja. Dalam lanskap hukum Indonesia yang kerap terasa timpang: di mana uang, koneksi, dan tipu daya begitu mudah memelintir kebenaran. Keadilan (The Verdict) hadir sebagai drama ruang sidang yang ciamik. Film ini menempatkan keputusasaan seorang manusia biasa di tengah sistem hukum yang kian sulit dipercaya, dan dari situlah konflik moralnya mulai berdenyut. Lalu, seperti apa yang ditawarkan dalam kisah dan visualnya?

Kisahnya bermula dari Raka Yanwar (Rio Dewanto), seorang satpam pengadilan yang ramah, disiplin, namun menyimpan kegelisahan mendalam terhadap hukum yang setiap hari ia lihat diselewengkan. Apa yang selama ini hanya ia saksikan dari jauh tiba-tiba berubah menjadi tragedi personal ketika istrinya, Nina Ratnasari (Niken Anjani): advokat muda yang sedang mengandung dan baru lulus ujian profesi, menjadi korban penyerangan brutal oleh Dika (Elang El Gibran). Dika dikenal karena anak dari seorang konglomerat, Sudiyan Bono (Eduwart Manalu), pengusaha illegal logging. Raka memang berhasil menangkap pelakunya, tetapi keadaan berbalik sepenuhnya ketika Dika dilindungi oleh Timo (Reza Rahadian): pengacara licik yang lihai memanfaatkan celah hukum demi membebaskan orang-orang kaya dari jeratan pidana. Ketika sistem hukum gagal memihak korban dan justru memutarbalikkan realitas, keyakinan Raka seakan runtuh. Dalam pusaran kehilangan, amarah, dan ketidakberdayaan, ia mengambil keputusan ekstrem: merebut kendali persidangan demi mencari keadilan yang tak lagi bisa ia temukan melalui jalur formal. Ketegangan moral ini menjadi jantung film, didorong oleh eskalasi yang rapi, kejutan demi kejutan, dan dinamika karakter yang bergerak saling menguatkan. Bahkan, tiap masalah-solusi-masalah terus berulang, sampai akhirnya memuncak pada tindakan paling nekat -> Raka: membajak ruang sidang itu sendiri.

Dalam hal pendekatan sinematik, jejak tangan Lee Chang-hee memang terasa sangat kentara. Tensi film naik drastis berkat pergerakan kamera yang agresif namun presisi, pemanfaatan set yang maksimal, transisi yang tajam, hingga scoring yang menekan emosi penontonnya. Saya pribadi suka dengan penggunaan zoom in dan zoom out yang dimainkan untuk membangun ketegangan. Tidak mengherankan, mengingat Lee juga dikenal melalui Hell is Other People (2019) dan A Killer Paradox (2024). Diduetkan dengan Yusron Fuadi yang sudah membuktikan keunikannya lewat Tengkorak (2017) dan Setan Alas! (2023). Namun, nuansa K-thriller terasa begitu kuat. Adegan kejar-kejaran, kecelakaan, hingga single take dari dalam mobil ketika Raka memburu pelaku, semuanya memancarkan tone kamera ala produksi Korea. Bahkan elemen pengambilan gambar yang melekat dengan estetika MD Pictures: diskotek dan toilet, seperti nuansa sinetron tapi dibungkus elegan menjadi ciri khas tersendiri. Namun di balik pengaruh Korea yang dominan, akar lokal film ini tetap terjaga. Lingkungan Indonesia terasa autentik, dialog dekat dengan keseharian, problematika hukum relevan, dan komedi tipis-tipis khas lokal hadir sebagai jeda napas yang tidak merusak intensitas. Scene pinggir sungai adalah salah satu favorit saya: teknis sinema Korea, suasana Indonesia.

Baca Juga  Defending Jacob

Keberhasilan film ini juga bertumpu pada penampilan para aktornya. Rio Dewanto menampilkan lapisan emosi yang luas: sedih, marah, putus asa, obsesif: semuanya mengalir natural dan tidak pernah terasa berlebihan. Raka menjadi representasi manusia yang tidak lagi mampu menelan absurditas sistem, dan tindakannya yang ekstrem terasa sebagai eskalasi yang logis. Tapi yang membuat aksinya mungkin terjadi adalah sosok Hanum (diperankan Dian Nitami), hakim bersih yang prinsipnya tidak goyah. Bisa terbayang jika hakimnya tidak tenang, arif, dan bijaksana, saya rasa ceritanya akan lebih rumit. Sebaliknya, Reza Rahadian tampil brilian sebagai Timo: penuh karisma, sinis tajam, dan percaya diri tingkat dewa. Ia bekerja untuk orang kaya, tetapi tidak tunduk pada mereka; justru sering melontarkan sarkasme pada kliennya. Bahkan ucapan Dika mengenai hukum, yang meremehkan integritas persidangan, pelan-pelan jadi kenyataan: di tangan sistem yang korup, pelaku dapat disulap menjadi korban. Contohnya adalah ucapan “Ini persidangan, bukan ruang taman kanak-kanak,” sangat sarkastik didengar. Elang El Gibran sebagai Dika juga tampil mencolok. Gestur, ekspresi, hingga auranya mengingatkan pada tokoh psikopat dalam thriller Korea. Ia memberikan bobot ancaman yang konsisten dan layak diacungi jempol.

Keadilan (The Verdict) adalah salah satu upaya paling serius dari sinema Indonesia untuk memadukan drama hukum, politik, dan thriller psikologis. Penyutradaraan Lee Chang-hee dan Yusron Fuadi membuat film ini bergerak cepat tanpa basa-basi, namun tetap memelihara kedalaman emosinya. Dan ketika film ditutup dengan “I’d Like to Watch You Sleeping” dari Sal Priadi, seluruh perjalanan emosional sejak menit pertama akhirnya pecah dalam kesunyian yang sendu: penutup yang menurut saya cihuy dan sangat pas. Setelah film ini, saya membayangkan akan muncul film-film serupa yang mengangkat kisah hukum Indonesia, seperti Ozora: Penganiayaan Brutal Penguasa Jaksel (2025). Harapannya, film-film semacam ini tidak hanya mengejar fenomena viralitas semata, tetapi memantik reformasi hukum yang nyata di masa depan. Maka pada akhirnya, Keadilan bukan sekadar hiburan; ia mengguncang, menusuk, dan mengajak penontonnya merenung: di manakah sebenarnya posisi keadilan ketika sistem justru memihak para pemilik kuasa?

Media Tonton: Bioskop CGV Pabelan, Kartasura.

Judul: Keadilan (The Verdict) | Tahun Produksi: 2025 | Tahun Rilis: 2025 | Durasi: 1 Jam 40 Menit | Sutradara: Chang-hee Lee & Yusron Fuadi | Penulis: Yoon Hyeon-Ho | Produser: Song Hyun-ju, Bae Jae-youn | Rumah Produksi: MD Pictures, JNC Media Group, dan Innikor Pictures | Negara: Indonesia & Korea Selatan | Pemeran: Rio Dewanto, Reza Rahadian, Niken Anjani, Elang El Gibran, Tubagus Ali, Dimas Aditya.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
90 %
Artikel SebelumnyaZootopia 2 | REVIEW
Purwoko Ajie, also known as Puralexdanu Patjingsung, was born in Ciamis, West Java, on 13 October 1995. He pursued his undergraduate studies in the Television and Film Study Programme at the Indonesian Institute of the Arts (ISI) Surakarta from 2015 to 2019; and from 2022 to 2024 continued his postgraduate studies in the Cultural Studies Programme at Sebelas Maret University (UNS), Surakarta. During his studies, he actively engaged in writing books, film scripts (fiction/ documentary), and scholarly articles, while deepening his research interest in cultural studies with a focus on cinema and media. His written works include the independently published novels "Cinta Piramida" (2015) and "From Something To Nothing" (2018), as well as his contribution as a co-author to the book "30 Film Indonesia Terlaris 2002-2018" (2019) published by Montase Press. Several of his articles have been published in national and international journals; all academic portfolios and publications can be accessed through Google Scholar: https://scholar.google.com/citations?user=I6nkRJIAAAAJ. In the field of film criticism, he received national recognition through achievements at the Indonesian Film Festival (FFI), being selected as one of the Top 15 Best Film Criticism at FFI 2024 with his essay "Vina: Sebelum 7 Hari | Fenomena Spiritual, Viralitas, dan Pengungkapan Fakta Sosial," and later becoming a nominee for Best Film Criticism at FFI 2025 through his article "Tendangan, Pengkhianatan, dan Mimpi di Tengah Mafia: Alegori ‘Elang’ (2025) dalam Psiko-Politik Sepak Bola Nusantara." In addition to his writing activities, he also works in the field of directing short fiction and documentary films. His passion for cinema began in junior high school when he produced his first film "Salah Pelet" (2009). In 2016, he directed the short film "The Dakoen Doerang (Past & Now)", which was later screened at the International Children Film Festival 2018 in India as part of the World Cinema programme. He also produced the documentary "Teguh Between the Collapse of Gemstone" (2018), which received recognition at various international festivals. To this day, he continues to develop his cinematic works, both in screenwriting and short-film production, while deepening his cultural studies research related to film, media, and society. Besides his involvement in cinema, he also has experience in the field of information technology (IT), having worked as an IT staff member at several private companies and reputable websites. He is currently active in managing and writing for montasefilm.com and montase.org, as well as developing the mOntasefilm Android-based application: Indonesia’s first film-community application, currently undergoing technical refinement.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses