“Terlalu banyak drama.”
Seperti ucapan Subroto yang diperankan aktor senior Slamet Rahardjo di sebuah adegan, nilai keseluruhan film Rahasia Rasa jadi melorot gara-gara terlalu banyak drama. Seperti racikan bumbu yang akan mengubah rasa jika berlebihan, demikian pula halnya dengan Rahasia Rasa. Terlalu banyak konflik dan drama ternyata membuat “cita rasa” Rahasia Rasa tidak selezat ekspektasi di awal.
Film Rahasia Rasa bercerita tentang Ressa (Jerome Kurnia) seorang chef yang terkenal akan kemampuannya di bidang masakan Italia. Suatu ketika ayah kekasihnya, Subroto, menantangnya untuk memberikan cita rasa masakan nusantara ke masakan Italia sehingga memiliki ciri khas. Jika berhasil, ia akan mengizinkan Ressa membuka restoran di Italia.
Sayangnya Ressa kemudian kehilangan indera pengecapnya setelah mengalami kecelakaan. Dokter menduga hal tersebut berkaitan dengan traumanya dengan bumbu masakan nusantara. Ia pun disarankan kembali ke kampung halamannya untuk bertemu Tika (Nadya Arina), teman masa kecilnya. Di sana Ressa harus menghadapi trauma dan kebohongannya.
Di bagian awal, film ini begitu menjanjikan. Penonton diajak mengenal profesi Ressa dengan tampilan para koki yang sedang memasak dan menata hidangan di bawah kendalinya. Visual bahan masakan yang sedang diolah dan tampilan masakan yang siap disantap nampak mengundang selera. Sebuah pembukaan film kuliner yang menarik, sekaligus juga umum digunakan.
Dari dapur yang modern dengan peralatan canggih, penonton kemudian diajak ke dapur sederhana dengan aneka bahan dan bumbu-bumbu. Di dapur tersebut tersaji aneka masakan tradisional seperti masakan mangut. Seperti adegan pembuka, visual dari masakan yang disajikan di Warung Mbah Wongso ini juga sedap dan nampak menggiurkan. Dari proses memasak hingga visual makanan yang siap saji, Hanung Bramantyo berhasil menyuguhkan sesuatu yang indah, tetapi sebenarnya standar untuk film kuliner. Dari segi tampilan, tidak kalah dengan yang nampak di Aruna dan Lidahnya.
Agar cerita lebih berbumbu, ditambahkan kisah Mustika Rasa, sebuah buku resep masakan nusantara, yang disusun oleh Presiden Soekarno dan istrinya, Hartini. Ini sebuah tambahan pengetahuan dan sejarah kuliner yang menarik bagi para penonton. Adi Nugroho sebagai penulis naskah, kemudian coba memasukkan Mustika Rasa ini ke dalam perjalanan rasa Ressa. Di awal-awal, informasi tentang Mustika Rasa ini disampaikan dengan begitu memikat, membuat penonton penasaran apa hubungan Ressa dan Mustika Rasa.
Sayangnya kemudian ada begitu banyak hal yang dimasukkan ke dalam konflik, lalu membludak. Ini membuat rasa yang tertinggal seusai menonton malah terasa membingungkan. Sebenernya apa yang mau disampaikan di film ini?
Jika berbicara tentang trauma masa kecil Ressa terhadap bumbu masakan tradisional, di film terlalu cepat muncul solusinya. Ressa yang sudah lama menjauhi bumbu dan masakan tradisional, tiba-tiba nampak langsung piawai mengolah mangut. Dari segi cerita, bumbu konfliknya yang kebanyakan memang merusak ‘rasa’ film. Beberapa tokoh seperti preman yang dulunya para perundung Ressa juga nampak komikal. Meski demikian, ada beberapa sisi sinematik dari film ini yang patut diapresiasi.
Dari segi visual, seperti yang disampaikan di atas, visual masakannya sudah layak sebagai film kuliner. Film-film Hanung dikenal dengan visualnya yang jernih, tajam, dengan berbagai variasi pengambilan gambar, termasuk di film ini. Dari divisi musik, kostum, dan makeup kali ini tidak begitu menonjol. Biasa saja. Sedangkan untuk editing, pada saat adegan menampilkan sejarah Mustika Rasa itu menarik disimak.
Namun, yang paling menyelamatkan film ini adalah akting para jajaran pemainnya. Akting Jerome Kurnia semakin matang. Nadya Arina juga mulai berani mengekspresikan emosinya. Yang paling mencuri perhatian adalah penampilan duo pemain film senior, Slamet Rahardjo dan Yati Surachman sebagai Mbah Wongso. Tanpa kedua pemain film senior ini masakan yang rasanya agak ‘cemplang’ bakal makin sulit dinikmati.