sentimental value

Sentimental Value aka Affeksjonsverdi adalah film drama keluarga arahan sineas asal Norwegia, Joachim Trier. Sang sineas sebelumnya sukses dengan The Worst Person in the World (2001) yang sukses mendapatkan nominasi Oscar untuk Best International Feature dan naskah orisinal terbaik. Film ini dibintangi oleh Renate Reinsve, Stellan Skarsgård, Inga Ibsdotter Lilleaas, hingga Elle Fanning. Pada pertengahan tahun ini sukses meraih penghargaan Grand Prix di Cannes Film Festival dan juga menjadi wakil Norwegia dalam kategori Best International Feature di ajang Academy Awards besok. Lantas sejauh apakah pencapaian dan kualitas film ini?

Gustav Borg (Skarsgård) adalah sineas kawakan Norwegia yang kembali ke kampung halamannya setelah sekian lama di Swedia. Ia pun harus menghadapi dua putrinya, Nora (Reinsve) dan Agnes (Lilleaas), yang telah ia tinggalkan sejak kecil setelah ibu mereka tiada. Nora kini adalah seorang aktris panggung ternama yang masih lajang, sementara Agnes adalah karyawan kantoran yang hidup nyaman bersama suami dan putranya. Kedua putri Gustav, khususnya Nora masih canggung dengan sang ayah, setelah semua yang terjadi di masa lalu.

Gustav memiliki naskah film yang ia ingin Nora memerankannya, tetapi ditolaknya.  Dalam sebuah acara screening karyanya, Gustav bertemu aktris AS ternama, Rachel Kemp (Fanning). Rachel yang terkesan dengan film Gustav, akhirnya berminat untuk bermain dalam film terbarunya. Dalam perkembangan, Rachel merasa ada sesuatu yang hilang dalam karakter yang seharusnya dimainkan oleh Nora. Sementara pertemuan dengan sang ayah rupanya membuat tekanan mental pada Nora.

Dari titelnya, ekspektasi sebuah drama berat pun sempat terbersit di pikiran. Dugaan saya keliru besar. Sejak pembuka, kisahnya bertutur ringan walau tempo sedikit cepat menyajikan latar belakang rumah tinggal keluarga Borg. Eksposisi sosok Nora yang memiliki kecemasan berlebihan disajikan dengan begitu berkelas. Begitu pun sosok sang ayah yang “eksentrik” dan Agnes yang terhitung normal ketimbang keduanya. Kejutan besar bagi saya adalah ceritanya yang bersinggungan dengan dunia film. Satu hal yang mengagetkan lagi adalah bagaimana pendekatan dan sentuhan visual dari sang sineas yang bersinergi sempurna dengan plotnya.

Poin utama kisahnya adalah komunikasi antara Gustav dan Nora yang tampak melalui sikap dingin/kaku serta kegelisahan dari keduanya. Rachel Kemp yang begitu memesona dan berbakat, mendadak hadir dalam hidup Gustav yang seolah menggantikan sosok putrinya. Bagi penonton yang memiliki pengalaman hidup yang sama (daddy issues), bakal relate dengan sosok ayah dan putrinya yang rumit. Sikap Gustav dan Nora yang canggung dan terkesan egois, sesungguhnya adalah bentuk rasa kehilangan dan kerinduan mereka yang begitu dalam. Gustav tidak hanya sekadar ingin berdamai dengan pelukan hangat atau hadir di pertunjukan Nora, tetapi lebih dalam dari itu, melalui sesuatu yang berarti bagi dirinya (medium film) untuk seseorang yang begitu berarti baginya (Nora).

Baca Juga  Circusboy | EoS 2025

Gustav dengan bergairah memaparkan pada Rachel, shot akhir berupa “oner” (long take) dari ruang ke ruang di rumah tinggalnya. Siapa menyangka, semua itu dihadirkan secara komplit pada penghujung film. Satu shot oner” paling menyentuh, manis, dan hangat yang pernah saya tonton dalam medium film. Satu shot yang secara brilian menjadi resolusi dari semua konflik antara ayah dan putrinya. Sang sineas juga seringkali menggunakan montage untuk segmen kilas-balik secara elegan lengkap dengan suara narator yang hangat. Satu teknik macth dissolve unik yang memperlihatkan transisi ekspresi wajah ayah dan putrinya dengan berlatar warna hitam yang bermakna mereka berdua sesungguhnya selalu memikirkan satu sama lain.

Naskah yang menyentuh dan solid tak akan ada artinya tanpa penampilan memukau dari dua kasting utamanya, khususnya Renate Reinsve dan Stellan Skarsgård yang tampil dominan. Skarsgård yang juga aktor kawakan Hollywood tampil amat prima. Nyaris sepanjang film, ia selalu canggung melalui ekspresi wajah dan tatapan mata sebagai seorang ayah, sekaligus tampak karismatik sebagai seorang sineas bertalenta tinggi. Reinsve yang merupakan kolaborator lawas sang sineas, sepanjang durasi memerankan Nora dengan tatapan kosong yang begitu ekspresif sejak adegan pembuka. Jauh berbeda dengan penampilannya dalam Worst Person sebagai perempuan muda enerjik yang mencari identitas. Bukan meremehkan pemain lainnya, tetapi jika ada apreasiasi tinggi untuk akting adalah untuk dua pemain brilian ini.

Dengan tema keluarga menyentuh, Sentimental Value adalah pencapaian istimewa yang mampu memadukan kedalaman kisah serta estetika, sekaligus selebrasi terhadap medium film. Joachim Trier kali ini mampu membuat karya masterpiece-nya melalui sentuhan naskah dan bahasa visual dengan gaya berkelas. Tak banyak, seorang sineas yang menjawab kisah filmnya melalui medium film itu sendiri dengan begitu brilian. Secara personal, Sentimental Value adalah film terbaik yang saya tonton sepanjang tahun ini melalui kehangatan kisah dan visualnya. Rasanya, film ini bakal berbicara banyak pada ajang Academy Awards besok, khususnya untuk naskah, aktor, aktris, serta penyutradaraan. Kita lihat dalam beberapa bulan ke depan.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
100 %
Artikel SebelumnyaYour Letter | REVIEW
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses