New Reviews

Cleaner | REVIEW

Mengapa Die Hard adalah film terbaik untuk formulanya? Oleh karena film buruk macam Cleaner masih saja diproduksi dengan aksi-aksi yang tidak membekas.

Captain America: Brave New World | REVIEW

Intens, nonstop, dan aksi yang menghibur, Captain America: Brave New World merupakan thriller politik kompleks yang bisa jadi bukan untuk semua fansnya.

I’m Still Here | REVIEW

Sepenggal kisah kelam rezim masa lalu disajikan berkelas oleh I’m Still Here melalui perspektif drama keluarga serta penampilan para kastingnya yang menawan.

Nosferatu | REVIEW

Di luar kisahnya yang mencomot karya Bram Stoker, Nosferatu adalah unjuk kemampuan sang sineas untuk menegaskan gaya estetiknya yang khas.

Companion | REVIEW

Companion memberi sedikit sentuhan segar subgenrenya melalui perspektif dan empati dari sosok (robot) protagonisnya, walau masih terganjal logika kisahnya.

Dark Nuns | REVIEW

Dark Nuns adalah perbaikan besar dari film pertamanya melalui nyaris segala aspeknya, walau masih terjebak dalam tempo plot yang lambat dan panjang.

1 Kakak 7 Ponakan | REVIEW

1 Kakak 7 Ponakan memiliki cerita yang berisi, kaya pesan moral, dengan konflik mengharu biru, namun sayangnya tak ada sesuatu yang baru.

Flight Risk | REVIEW

Jika sineas sekelas Mel Gibson menggarap film level “indie” minimalis macam Flight Risk, entah ini adalah sebuah masterpiece atau sebaliknya. Sayangnya tidak.

Star Wars: Skeleton Crew

Seri StarWars: Skeleton Crew adalah sebuah penyegaran melalui tokoh anak dengan semangat aksi film petualangan era 1980-an walah alur kisahnya terasa sedikit lepas dengan serinya.

Wolf Man

Wolf Man tidak banyak menawarkan sesuatu yang baru bagi genrenya, kecuali eskplorasi penceritaan real time, perspektif (POV) sang monster, dan tata rias wajah yang meyakinkan.

Series

Retrospeksi

News

Artikel Lepas

Melalui Ranjang Pengantin, Teguh Karya mampu memproduksi karya melodrama masterpiece yang tak lekang jaman, baik melalui inovasi visual serta moral value-nya
Imperfect bukan sekadar film; film ini berfungsi sebagai cermin sosial yang tajam, menyoroti isu bullying dengan cara yang mendalam. Melalui kisah yang diangkat, secara tidak langsung merepresentasikan fenomena bullying, memberikan kesempatan bagi penonton untuk merenungkan pengalaman yang mungkin pernah mereka lihat atau bahkan alami sendiri.
Alih-alih masyarakat lokal memiliki daya untuk berbicara mengenai daerahnya sendiri, justru Makbul Mubarak memilih bidak-bidak kondang berprivilege nasional untuk merepresentasi dan membicarakan mereka.
Film Vina: Sebelum 7 Hari bukanlah film terbaik di genre-nya, namun secara moral menjadi pemicu pengungkapan fakta sosial dan tegaknya keadilan hukum yang sebenarnya, terlepas dari semua pro dan kontra yang membayanginya.
error: Content Is Protected, DON\'T COPY!!!