Film horor lokal saat ini menjadi bisnis yang gurih di mana punya pangsa tersendiri dan angka perolehan penonton yang tinggi. Tak heran apabila kemudian banyak sutradara dan sineas film yang penasaran dan tertarik untuk ikut mengisi ceruk ini. Tak terkecuali Yosep Anggi Noen, yang sebelumnya juga mencoba keluar dari zona nyamannya dengan menyutradarai film laga. Seperti apakah debut filmnya di kancah horor yang berjudul Tebusan Dosa?

Seorang perempuan bersama ibu dan anaknya nampak bergegas pergi dengan seorang pria dengan menumpangi kendaraan roda empat. Adegan beralih ke beberapa waktu kemudian. Si pria bernama Sulaiman yang menjadi suami baru perempuan bernama Wening (Happy Salma) itu rupanya penipu. Ia kemudian mengajak Wening melakukan ritual pesugihan dengan berendam di sungai yang deras. Wening pun berontak karena Sulaiman sering bertindak kasar ke putri dan ibunya. Sulaiman pun hanyut.

Hari berganti, para warga tak curiga Sulaiman tak pernah lagi terlihat. Wening kembali ke rutinitas, menjadi supir odong-odong. Nasib keluarga kecil itu berubah ketika Wening menjemput ibunya, Uti Yah (Laksmi Notokusumo) dan putrinya, Nirmala (Keiko Ananta), dari tempat Uti Yah bekerja dengan motor saat hujan deras. Mereka bertiga kecelakaan. Uti Yah ditemukan tak bernyawa. Nirmala diduga hanyut. Hingga hari kesepuluh, Nirmala belum ditemukan. Wening masih berharap. Tragedi Wening pun menarik perhatian pelatih renang dan podcaster bernama Tirta (Putri Marino). Benarkah Nirmala masih hidup? Apakah Wening harus menebus dosanya untuk bisa menyelamatkan putrinya?

Premis cerita yang skenarionya digarap oleh Alim Sudio ini menarik, yakni tentang seorang ibu yang terus berharap agar putrinya ditemukan. Ia mau melakukan apa saja untuk itu, termasuk membuat seribu bangau seperti yang disarankan Tetsuya (Shogen), majikan barunya yang seorang pria Jepang. Uti Yah dulu juga bekerja dengan pria tersebut.

Dari awal, rasanya agak sulit untuk percaya dan bersimpati dengan karakterisasi Wening. Ia sepertinya perempuan yang mencari-cari kesulitannya sendiri. Ia kabur dari rumah dengan suami baru yang bermasalah. Ia juga tak mengindahkan nasihat Uti Yah memilih jalan yang licin dan gelap sehingga kemudian mengalami kecelakaan.

Selain suka mencari masalah sendiri, profesinya juga kurang meyakinkan. Ia sopir odong-odong, lalu juga kerja di binatu. Kemudian juga kerap melakukan live video untuk menjual aneka produk kecantikan. Di awal ia digambarkan kerja jadi sopir odong-odong hingga malam hari lalu kapan ia sempat bekerja di binatu. Wajahnya yang selalu nampak lelah dan kusut juga rasanya kurang cocok jadi micro influencer di bidang kecantikan.

Baca Juga  Tarian Lengger Maut

Bukan hanya karakter Wening yang tak menyakinkan. Desain karakter Tirta sebagai podcaster juga hanya seperti kulit luar. Ia dinampakkan kaku dan tak pandai menjalin hubungan dengan manusia. Tirta juga tak nampak berinteraksi dengan penikmat kontennya. Desain karakter Tirta ini membuatnya nampak kontradiksi dengan profesinya.

Selain masalah desain karakter yang kurang menyakinkan, alur ceritanya terasa dipaksakan agar bernuansa horor. Penampakan makhluk gaibnya terlalu sering dengan musik yang kencang sehingga mengurangi nuansa misteriusnya. Ada begitu banyak elemen yang dihadirkan yang kemudian tak penting di bagian akhir. Ini mengingatkan pada 24 Jam Bersama Gaspar, yang nampak padat di awal tapi kemudian terasa kopong sejak bagian pertengahan film.

Bagian detail dalam cerita ini juga terasa mengganggu dan bikin tak nyaman menonton. Saat Wening memfotokopi acara peringatan tujuh hari dan kemudian malah membagikan makanan peringatan sendirian, misalnya. Atau, ketika tak ada penonton live video Wening yang berkomentar heboh ketika melihat ada sosok mengerikan yang ikut muncul bersama Wening. Jarak rumah Wening ke sanggar Tetsuya yang di awal nampak jauh, kemudian nampak dekat sehingga Wening bisa berlari ke sana.

Masih banyak detail yang janggal dan kurang konsisten yang bisa ditemui di film ini. Penulis bertanya-tanya apakah Wening paham dengan bahasa Inggris yang digunakan Tetsuya. Kadang-kadang ia nampak paham, seringnya tidak. Makna kemunculan makhluk gaib di sini juga ambigu, apakah ia menyampaikan pesan atau sekadar menakut-nakuti belaka.

Sisi menarik dari film ini adalah akting Happy Salma yang konsisten sebagai ibu yang kebingungan dan suka mencari masalah sendiri. Pemeran lainnya seperti Putri Marino sayangnya agak tersia-siakan potensinya di sini.

Yosep Anggi Noen mencoba bertahan dengan ciri khasnya yakni alur yang lambat dan memberikan penokohan yang kuat meski sebenarnya kurang berhasil di film ini. Plot twist dalam film ini juga kurang berhasil untuk memberikan kesan berarti.

PENILAIAN KAMI
Overall
60 %
Artikel SebelumnyaSmile 2
Artikel BerikutnyaThe Substance
Dewi Puspasari akrab disapa Puspa atau Dewi. Minat menulis dengan topik film dimulai sejak tahun 2008. Ia pernah meraih dua kali nominasi Kompasiana Awards untuk best spesific interest karena sering menulis di rubrik film. Ia juga pernah menjadi salah satu pemenang di lomba ulas film Kemdikbud 2020, reviewer of the Month untuk penulis film di aplikasi Recome, dan pernah menjadi kontributor eksklusif untuk rubrik hiburan di UCNews. Ia juga punya beberapa buku tentang film yang dibuat keroyokan. Buku-buku tersebut adalah Sinema Indonesia Apa Kabar, Sejarah dan Perjuangan Bangsa dalam Bingkai Sinema, Antologi Skenario Film Pendek, juga Perempuan dan Sinema.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.