The Running Man adalah remake modern film sfi-ci ikonik yang dulu dibintangi sang superstar, Arnold Schwarzenneger. Kisahnya diadaptasi dari novel bertitel sama karya novelis kondang, Stephen King. Sineas bertalenta tinggi, Edgar Wright kini didapuk sebagai sutradara dengan dibintangi nama-nama besar, seperti Glen Powell, William H. Macy, Lee Pace, Michael Cera, Emilia Jones, Colman Domingo, dan Josh Brolin. Bermodal tangan emas sang sineas dan bintang-bintang besarnya, akankah bakal melebihi kualitas film aslinya?
Latar kisahnya di masa depan dekat, sebuah era distopia di mana kesenjangan sosial begitu jauh, di bawah kontrol rezim totalitarian. Ben Richard (Powell) dan istrinya yang merupakan pekerja kelas bawah, mendapat tekanan ekonomi besar akibat putri kecilnya sakit keras. Ben akhirnya memutuskan untuk mengikuti tes calon kontestan game show televisi, bersaing dengan ratusan peserta. Tanpa diduga, Ben justru terpilih untuk mengikuti game show paling populer dan berbahaya, The Running Man. Ben harus bertahan hidup dari para pemburu profesional selama 30 hari untuk bisa mendapatkan hadiah USD 1 miliar (>16 T rupiah!).
Plotnya berbeda jauh dengan film aslinya di mana arena tarungnya bak arena gladiator yang terisolir dan terkontrol. Sementara kini, arena gim adalah areal publik luas yang meliputi seluruh wilayah AS. Tentunya ini memungkinkah naskahnya lebih fleksibel memanfaatkan banyak lokasi (kota) yang sungguhan eksis. Aturan mainnya sederhana, seorang pemain hanya perlu bersembunyi selama 30 hari dari para pemburu dan hadiah bakal menjadi milik pemenang. Tentu ini tidak mudah, karena penyelenggara permainan memberikan hadiah yang sangat besar bagi setiap orang yang berhasil menemukan atau membunuh buruannya. Potensi premis dan ancaman pun terasa kuat.
Satu poin menarik (yang juga ada di film aslinya) adalah manipulasi media yang seolah membuat para pemain adalah seorang jahat atau kriminal sehingga publik pun termotivasi untuk memburu mereka. Isu ini jelas relate dengan situasi terkini yang kita alami sekarang. Sayang, pengembangan plotnya tidak seintens dan menegangkan seperti yang dijanjikan premisnya. Beberapa momen terasa datar dan melelahkan. Satu faktornya, bisa jadi sang protagonis bekerja sendiri tanpa ada peserta lain, seperti dalam film aslinya, dan kini tanpa kehadiran protagonis perempuan. Hadirnya sosok Amelia sebagai “sandera”, sedikit membuat berbeda, tetapi terlambat karena sosoknya muncul menjelang segmen penutup.
Segmen klimaks terasa antiklimaks akibat penggunaan konsep manipulasi media yang justru membuat kisahnya kehilangan arah. Batasan antara rekayasa dan realitas menjadi kabur. Arah dan maksud ending-nya jelas bisa kita pahami, hanya saja momen dramatis yang diharapkan tidak mampu kita rasakan. Naskah berkelas yang biasanya tampak dalam film-flm sang sineas (Shaun of the Dead, Hot Fuzz, Baby Driver, Last Night in Soho), kini tak lagi terlihat, bahkan kehilangan sentuhan humor yang menjadi kekuatan dan ciri khasnya. Walau stempel estetiknya (sinematografi enerjik, editing cepat, dan iringan lagu), masih bisa kita rasakan, sejak adegan pembuka (credit title).
Premis simpel yang terjebak dalam kerumitan plotnya sendiri plus minim humor, The Running Man tidak mampu memanfaatkan potensi premis, pesan, serta star power sang aktor. Powell yang lazimnya mampu memaksimalkan peran melalui karismanya, sebut saja Maverick, Twisters, dan Hitman, kini terasa lepas dengan perannya yang selalu tampak serius dan emosional. Colman Domingo yang bermain sebagai sang host justru tampil karismatik dan mencuri perhatian. Untuk sang sineas, The Running Man adalah sebuah langkah mundur, sejak sukses Baby Driver yang enerjik dan menghibur. Walau versi aslinya yang dibintangi Arnold, terhitung bukan film istimewa, tetapi menarik untuk disimak kembali.







